REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan sedang menyusun skema kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam upaya reformasi perpajakan. Hal ini mengingat konteks kebutuhan fiskal pada masa pemulihan dan pascapandemi, setiap negara berupaya untuk tetap menjamin penerimaan.
Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan, skema multitarif bisa dipertimbangkan, khususnya dalam mewujudkan sistem PPN yang lebih adil.
“Saat ini banyak negara yang memiliki tarif standar serta tarif yang berlaku khusus bagi barang/jasa kena pajak tertentu. Semisal reduced rate atau persentase yang kecil bagi barang kebutuhan pokok,” ujarnya seperti dikutip Senin (10/5).
Berdasarkan catatannya, selama satu dekade terakhir terdapat tren peningkatan tarif PPN secara global. Hal tersebut umumnya dalam rangka kian sulitnya mengoptimalkan penerimaan dari pajak penghasilan (PPh).
Mengacu pada International Bureau of Fiscal Documentation, tarif rata-rata di 127 negara sebesar 15,4 persen dan di Asia 12 persen. Sedangkan pemerintah dalam menaikkan PPN akan menggunakan skema multitarif. Hanya saja, ada produk barang dan jasa yang besaran penggunaannya naik dan ada pula yang turun tapi produknya masih dalam pembahasan.
Mengacu UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah bisa mengubah besaran pungutan. UU tersebut mengatur perubahan tarif paling rendah berada pada angka lima persen dan paling tinggi 15 persen. Saat ini, tarif PPN berlaku untuk semua produk dan jasa, sebesar 10 persen.
Dari sisi lain, dia mengaku tidak heran apabila berbagai organisasi internasional merekomendasikan berbagai strategi terobosan mulai dari pajak digital, pajak berbasis kekayaan, hingga penambahan objek cukai.
“Survei yang dilakukan Organisation for Economic Co-operation and Development per awal April lalu juga memperlihatkan bahwa saat ini berbagai negara telah mulai membuat terobosan dalam rangka optimalisasi dan pemulihan penerimaan,” ucapnya.
Darussalam menjelaskan, PPN sebagai pajak berbasis konsumsi adalah jenis pungutan yang relatif tahan goncangan pada kala krisis. Hal ini terlihat pada pengalaman krisis pada 2008.
“Karena itu, upaya meningkatkan penerimaan dari pos PPN saat pemulihan pasca pandemi justru kebijakan yang sangat tepat,” jelasnya.