REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akan mengupayakan pengoperasian seaplane. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan (Balitbanghub) Umar Aris mengatakan saat ini yang menjadi fokus utama Menteri Perhubungan adalah pengoperasian drone dan seaplane yang mengikuti kemajuan zaman.
“Termasuk peluang pemanfaatan pesawat N-219 untuk penerbangan seaplane,” kata Umar dalam pernyataan tertulisnya, Jumat (21/5).
Balitbanghub melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Transportasi Udara kemarin (20/5) menggelar courtesy call ke Institut Teknologi Bandung (ITB). Hal tersebut dilakukan dalam rangka pengembangan kolaborasi riset.
Umar mengatakan, penelitian terkait teknologi transportasi ini dilakukan bersama ITB, UGM, serta UI. Di ITB, kata Umar, memiliki jurusan kedirgantaraan yang membedakan dengan kampus lainnya dan terdapat pengembangan SDM Kemenhub untuk bersekolah double degree di ITB yang bekerja sama dengan Ecole Nationale de l’Aviation Civile (ENAC) di Perancis.
“Dengan adanya kolaborasi ini, diharapkan dapat terjalin suatu kerjasama yang strategis dan implementatif untuk kedua belah pihak serta dapat menjadi landasan untuk menjawab tantangan yang ada saat ini maupun ke depannya," ungkap Umar.
Ketua Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan Sigit P Santosa mengatakan peluang seaplane di Indonesia cukup besar. Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) ITB bersama PT Dirgantara Indonesia dan Badan Litbang Perhubungan berencana melakukan kerja sama penelitian terkait pengembangan seaplane di Indonesia.
Sigit mengatakan, saat ini pesawat N-219 sudah mendapat sertifikasi dari Kementerian Perhubungan. Hanya saja, pesawat N-219 tipe amphibi masih dalam tahap pengembangan dimana akan dilakukan beberapa peningkatan untuk kebutuhan desain dan juga perfoma.
Tak hanya itu, Sigit menuturkan, pesawat N-219 dinilai paling optimum untuk pasar Indonesia. “Jadi yang dipakai di Indonesia ini kan kebanyakan pesawat tipe twin otter, head to head-nya adalah N219. Namun jika kita menggunakan N-212 itu terlalu besar, cakupan load factor malah jadi rendah,” ungkap Sigit.
Untuk itu, Sigit menilai yang paling optimum untuk pasar Indonesia harus dengan kapasitas 19 penumpang. Dengan begitu menurut Sigit, load factor-nya terjaga minimal hingga 80 persen.