Jumat 04 Jun 2021 17:55 WIB

Panglima Militer Myanmar Temui Sekjen ASEAN

Pertemuan ini dinilai untuk menyelesaikan konflik di Myanmar.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Panglima Junta Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten (24/4/2021). Kedatangan Jenderal Min Aung Hlaing untuk menghadiri KTT ASEAN 2021di Sekretariat ASEAN, Jakarta.
Foto: Antara/Biro Pers-Rusan/hma
Panglima Junta Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten (24/4/2021). Kedatangan Jenderal Min Aung Hlaing untuk menghadiri KTT ASEAN 2021di Sekretariat ASEAN, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Panglima militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing dilaporkan bertemu dengan Sekretaris Jenderal ASEAN Lim Jock Hoi dan Menteri Luar Negeri Kedua Brunei Dato Eryawan Pehin Yusof di Naypyitaw, Jumat (4/6). Mereka diperkirakan hendak membahas tentang krisis politik yang tengah dihadapi negara tersebut.

Beberapa sumber di militer Myanmar mengatakan kepada Nikkei Asia bahwa pertemuan Min Aung Hlaing dengan Lim dan Dato Eryawan dimulai pada pukul 14:00 waktu setempat. Detail topik pembicaraan yang mereka bahas belum diumumkan secara resmi.

Baca Juga

Namun kedua belah pihak diperkirakan membahas lima poin yang telah disepakati KTT Luar Biasa ASEAN tentang Myanmar pada April lalu. Hal itu termasuk pengiriman utusan khusus ASEAN dan penyaluran bantuan kemanusiaan ke Myanmar. Saat ini Brunei menduduki kursi ketua ASEAN.

Sebelum kunjungan Lim dan Dato Eryawan, Min Aung Hlaing bertemu dengan Presiden Komite Internasional Palang Merah Peter Maurer pada Kamis (3/6). Menurut seseorang yang mengetahui pertemuan tersebut, permintaan Maurer untuk dimulainya kembali kunjungan penjara oleh staf Palang Merah dan bantuan kemanusiaan lebih besar di zona konflik "tidak ditolak" Min Aung Hlaing.

Para pemimpin Myanmar tampaknya lebih yakin bahwa mereka telah menekan protes anti-kudeta dan memperkuat kontrol militer atas negara tersebut. Hal itu membuat mereka lebih terbuka untuk berdialog dengan masyarakat internasional.

Militer Myanmar mengatakan akan menggelar kembali pemilu setelah status keadaan darurat dicabut. Salah satu skenario yang mungkin terjadi adalah menghelat pemilu di bawah kondisi menguntungkan bagi partai Union Solidarity and Development Party yang berafiliasi dengan militer. Sebab dengan demikian, militer dapat mempertahankan kontrol dan kekuasaannya.

Pada 1 Februari lalu, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD).

Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu pada November tahun lalu. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.

Setelah kudeta, hampir seluruh wilayah di Myanmar diguncang gelombang demonstrasi. Massa menentang kudeta dan menyerukan agar para pemimpin sipil yang ditangkap dibebaskan. Namun militer Myanmar merespons aksi tersebut secara represif dan brutal. Lebih dari 700 orang dilaporkan telah tewas di tangan militer.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement