REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polisi menangkap puluhan orang yang terlibat praktik pungli terhadap sopir truk di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Praktik pungli itu disebut melibatkan oknum aparat.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, aksi premanisme dan pungli di pelabuhan sudah berlangsung lama. Tidak hanya di Pelabuhan Tanjung Priok, tapi hampir di semua pelabuhan besar di Indonesia.
Penyebabnya, kata dia, karena permasalahan sosial ekonomi masyarakat di sekitar pelabuhan. Mereka hidup dalam kemiskinan sehingga sebagian di antaranya memilih untuk melakukan pungli.
"Bahkan juga terjadi kongkalikong dengan oknum aparat. Hal seperti ini sengaja dipelihara oleh oknum aparat," kata Djoko dalam keterangannya kepada Republika, Selasa (15/6).
Djoko menerangkan, dalam bidang apa pun, pelanggaran yang dilakukan sendirian biasanya hanya berlangsung sementara. Bisa mingguan atau maksimal beberapa bulan.
"Tetapi kalau pelanggaran sudah berlangsung rutin dan terus-menerus, pasti sudah ada kerja sama dengan aparatur dan lain lain," kata dia.
Djoko juga menyoroti peran yang dimainkan Asosiasi Bongkar Muat Pelabuhan. Dia menyebut, bahwa asosiasi itu memiliki pengaruh yang sangat kuat karena tetap bisa memainkan peran dalam proses bongkar muat metode modern.
"Bongkar muat yang dilakukan dengan container crane yang tidak ada peran buruh bongkar muatnya tetap dipungut biayanya," kata dia.
Sebelumnya, polisi menangkap 50 orang yang terlibat praktik pungli di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok pada Jumat (11/6). Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus menyebut pihaknya akan menindak tegas jika ada oknum yang terlibat.
Operasi penangkapan preman dan pelaku pungli dilakukan polisi setelah Presiden Joko Widodo mendengar keluhan para sopir truk terkait pungli di Pelabuhan Tanjung Priok pada Kamis (10/6). Jokowi lantas menelepon Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk membasmi praktik pungli tersebut.