Rabu 16 Jun 2021 19:11 WIB

'Belum Ada Negara Mampu Deteksi Dini Tsunami non Tektonik'

Hasil observasi tinggi muka air laut stasiun Tide Gauge Tehoru, air laut naik 0,5 m.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.
Foto: Dok. Bmkg
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, hingga saat ini, belum ada negara yang mampu mendeteksi dini tsunami non tektonik atau yang tidak disebabkan oleh gempa bumi. Termasuk, kata dia, negara maju sekalipun.

"Maka, kami meminta dengan sangat masyarakat menggunakan kearifan lokal kalau merasakan guncangan gempa yang sangat kuat terutama di wilayah pesisir segera tinggalkan ke tempat yang lebih tinggi," kata Dwikorita dalam jumpa pers Rabu (16/6).

Dwikorita mengatakan, BMKG secara khusus memantau wilayah Maluku Tengah. Ini karena, berdasarkan sejarah cukup sering terjadi tsunami. 

"Tsunami yang terjadi bisa saja bukan disebabkan oleh gempa bumi, tapi akibat tebing yang longsor di pantai, ataupun longsor di bawah laut," katanya.

Sebelumnya terjadi gempa dengan magnitudo 6,1 yang kemudian dimutakhirkan menjadi 6,0 yang berlokasi di laut pada jarak 69 km arah Tenggara Kota Masohi, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku pada kedalaman 19 km. Hasil pemodelan tsunami dengan sumber gempa tektonik menunjukkan bahwa gempa tersebut tidak berpotensi tsunami, namun berdasarkan hasil observasi tinggi muka air laut di stasiun Tide Gauge Tehoru menunjukkan adanya kenaikan muka air laut setinggi 0,5 m. Hal ini diperkirakan akibat dari longsoran bawah laut.

Terkait gempa tersebut, BMKG mengeluarkan imbauan kepada masyarakat terutama di wilayah sepanjang Pantai Japutih sampai Pantai Atiahu Kabupaten Maluku Tengah, Pulau Seram, Maluku. Imbauan itu untuk waspada gempa susulan dan potensi tsunami akibat longsor ke laut atau di bawah laut, maka segera menjauhi pantai menuju tempat tinggi apabila merasakan guncangan gempa cukup kuat.

"Apabila batuan itu masuk ke laut bisa menyebabkan tsunami, datangnya sangat cepat hanya dua menit seperti di Palu," tambah dia.

Dwikorita menjelaskan, secara teori tsunami terjadi 20 menit setelah gempa kuat di laut dengan kedalaman dangkal. Namun, teori tersebut runtuh dengan kejadian tsunami di Palu pada 2018 dimana tsunami terjadi sangat cepat hanya dua menit akibat longsor bawah laut.

"Ini menjadi PR para ahli bagaimana memberikan peringatan dini tsunami non tektonik. Karena itu kami imbau siapapun yang ada di pantai, apabila merasakan guncangan gempa yang cukup kuat segera mencari tempat yang lebih tinggi," tegas Dwikorita.

Gempa yang cukup kuat tersebut apabila merasa terayun atau jika berdiri seakan-akan mau jatuh, maka tidak perlu menunggu adanya peringatan dini, tapi segera meninggalkan pantai.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement