Sabtu 19 Jun 2021 12:35 WIB

WHO: Secara Global Varian Covid-19 Delta Mendominasi

Covid-29 Delta yang awalnya muncul di India menjadi varian dominan secara global.

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Pasien dibawa menuju RS Royal London, Inggris, Senin (14/6). PM Boris Johnson menunda pengumuman pelonggaran kebijakan lockdown hingga empat pekan lagi karena kenaikan kasus Covid-19 akibat varian Delta yang tinggi.
Foto: EPA-EFE/ANDY RAIN
Pasien dibawa menuju RS Royal London, Inggris, Senin (14/6). PM Boris Johnson menunda pengumuman pelonggaran kebijakan lockdown hingga empat pekan lagi karena kenaikan kasus Covid-19 akibat varian Delta yang tinggi.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Varian Covid-29 Delta, yang awalnya muncul di India, menjadi varian dominan secara global. Keterangan ini disampaikan kepala ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Soumya Swaminathan pada Jumat (18/6).

Swaminathan juga menyuarakan kekecewaan atas kegagalan calon vaksin CureVac dalam uji coba untuk memenuhi standar kemanjuran WHO. Terlebih, saat varian yang sangat menular meningkatkan kebutuhan vaksin baru dan ampuh.

Baca Juga

Inggris melaporkan lonjakan tajam infeksi varian Delta. Sementara, pejabat senior kesehatan masyarakat Jerman memprediksikan varian Delta akan dengan cepat menjadi varian dominan di sana meski tingkat vaksinasi tinggi.

Pemerintah Rusia menyalahkan lonjakan kasus Covid-19 pada keraguan vaksinasi dan "nihilisme" setelah rekor infeksi baru di Moskow, kebanyakan varian Delta baru, mengipasi kekhawatiran gelombang ketiga. "Varian Delta sedang dalam perjalanan menuju varian dominan secara global sebab penularannya yang sangat tinggi," kata Swaminathan saat konferensi pers.

Varian Covid-19 dikutip oleh CureVac ketika perusahaan asal Jerman itu pekan ini melaporkan vaksin buatannya hanya memilik kemanjuran 47 persen dalam mencegah penyakit. Angka itu jauh dari ambang batas 50 persen standar WHO.

Perusahaan mengatakan telah mencatat sedikitnya 13 varian yang beredar dalam studi populasi mereka. Mengingat bahwa vaksin mRNA serupa dari Pfizer-BioNTech dan Moderna mencatat tingkat kemanjuran di atas 90 persen, Swaminathan mengatakan dunia berharap lebih pada calon vaksin CureVac.

"Hanya karena ini mRNA yang lain, kami tidak dapat menganggap bahwa semua vaksin mRNA sama. Sebab, masing-masing mempunyai teknologi yang sedikit berbeda," katanya.

Ia menambahkan, kegagalan yang mengejutkan tersebut menggarisbawahi nilai uji klinis yang kuat untuk menguji produk baru. Para pejabat WHO mengatakan, Afrika masih menjadi kawasan yang membutuhkan perhatian, meski hanya menyumbang sekitar lima persen infeksi baru dan dua persen kematian secara global.

Kasus baru di Namibia, Sierra Leone, Liberia, dan Rwanda naik dua kali lipat pekan lalu, menurut kepala program kedaruratan WHO Mike Ryan, pada saat akses vaksin Covid-19 masih sangat minim. "Ini salah satu lintasan yang sangat, sangat memprihatinkan," kata Ryan.

"Kenyataan yang sadis adalah bahwa di era berbagai varian, dengan tingkat penularan yang tinggi, kita membiarkan sebagian besar populasi, penduduk Afrika yang rentan, tak terlindungi oleh vaksin," ungkapnya.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement