REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Kandidat presiden Iran, Ebrahim Raisi, berpeluang untuk memenangkan pemilihan umum yang digelar Jumat (18/6). Raisi adalah seorang garis keras yang berada di bawah sanksi oleh Amerika Serikat (AS).
Raisi adalah seorang kritikus keras negara-negara Barat. Dia berada di bawah sanksi AS karena dugaan keterlibatan dalam eksekusi tahanan politik beberapa dekade lalu.
"Jika terpilih, Raisi akan menjadi presiden Iran pertama yang dikenai sanksi sebelum dia menjabat, dan berpotensi dikenai sanksi saat menjabat," kata analis Jason Brodsky dilansir al-Arabiya, Sabtu (19/6).
Brodsky mengatakan fakta itu dapat mengkhawatirkan Washington dan Iran liberal, terlebih fokus tajam Presiden AS Joe Biden adalah hak asasi manusia secara global. Raisi adalah seorang tokoh tingkat menengah dalam hierarki ulama Muslim Syiah Iran. Raisi diangkat oleh Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei sebagai kepala kehakiman pada 2019.
Beberapa bulan kemudian, AS menjatuhkan sanksi kepada Raisi atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk eksekusi tahanan politik pada 1980-an dan penindasan kerusuhan pada 2009. Menurut kelompok hak asasi manusia, Raisi memiliki peran dalam peristiwa tersebut.
Iran tidak pernah mengakui eksekusi massal tersebut. Raisi tidak pernah secara terbuka menyampaikan bantahan atas tuduhan tentang perannya dalam eksekusi itu.
Kemenangan Raisi berpotensi mematikan kultur politik pragmatis seperti yang dilakukan Presiden Hassan Rouhani. Dia menghadapi banyak pekerjaan utama, seperti upaya untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir tahun 2015 dengan kekuatan Barat serta mengatasi tingginya kemiskinan akibat sanksi Amerika Serikat (AS). Para pejabat Iran serta ulama Syiah sadar nasib politik mereka bergantung pada penanganan ekonomi yang terus memburuk.
"Pemilu itu penting terlepas dari masalah dan masalah. Saya berharap kita tidak memiliki masalah itu sejak pemilihan," kata Rouhani setelah memberikan suaranya.
Jajak pendapat resmi menunjukkan jumlah pemilih dalam pemilihan umum kali ini turun menjadi 44 persen. Jumlah tersebut jauh lebih rendah daripada pemilihan sebelumnya.