REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Dewan Keamanan Rusia pada Senin (21/6) mengatakan pihaknya dan pemimpin junta Myanmar berkomitmen meningkatkan hubungan antara kedua negara.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dan pemerintah Liga Nasional untuk Demokrasi pada Februari. Pemimpin Junta Myanmar Min Aung Hlaing melakukan perjalanan ke Moskow untuk menghadiri konferensi keamanan internasional selama tiga hari mulai Selasa yang mempertemukan para pejabat pertahanan dari seluruh dunia.
Dalam pernyataannya, Ketua Dewan Keamanan Rusia Nikolai Patrushev mengatakan telah bertemu dengan Min Aung Hlaing dan membahas "perang melawan terorisme, masalah keamanan regional" dan campur tangan asing di Myanmar. Kedua pejabat negara menegaskan kembali keinginan mereka untuk lebih memperkuat kerja sama bilateral antara Rusia dan Myanmar.
Itu adalah perjalanan kedua Min Aung Hlaing ke luar negeri sejak ia melakukakan kudeta
Televisi pemerintah Myanmar pada Ahad (20/6) melaporkan bahwa kepala junta menghadiri konferensi di Rusia, sekutu dan pemasok senjata utama untuk militer Myanmar. Tindakan keras junta terhadap perbedaan pendapat telah menewaskan sedikitnya 873 warga sipil sejak kudeta Februari, menurut kelompok pemantau.
Kunjungan Min Aung Hlaing dilakukan setelah Majelis Umum PBB menyerukan negara-negara anggota untuk "mencegah aliran senjata" ke Myanmar. Resolusi itu, yang tidak sampai menyerukan embargo senjata global, juga menuntut militer "segera menghentikan semua kekerasan terhadap demonstran damai."
Resolusi itu disetujui oleh 119 negara, dengan 36 abstain termasuk China, sekutu utama Myanmar, dan Rusia. Hanya satu negara, Belarus, yang menentangnya. Pada April lalu, Moskow mengatakan menentang sanksi terhadap junta di Myanmar, memperingatkan bahwa tindakan hukuman dapat memicu konflik sipil skala besar di negara itu.
Sementara, Kremlin mengatakan "prihatin" dengan korban sipil dalam protes Myanmar, Rusia telah berusaha untuk mengembangkan hubungan dengan junta.