REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Penularan virus corona varian Delta di Uni Eropa (UE) diperkirakan mencapai 90 persen pada akhir Agustus. Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC) mengatakan varian yang pertama kali diidentifikasi di India tersebut menjadi dominan secara global dan UE harus meningkatkan kewaspadaan.
ECDC memperkirakan sekitar 40 hingga 60 persen varian Delta lebih menular daripada varian Alpha, yang pertama kali ditemukan di Inggris. Karena penularannya yang meningkat, Delta menjadi perhatian bagi banyak pemerintah di seluruh Eropa, bahkan ketika sebagian besar negara bergerak untuk melonggarkan pembatasan setelah penurunan kasus baru Covid-19.
"Sangat mungkin varian Delta akan beredar luas selama musim panas, terutama di antara individu yang lebih muda yang tidak ditargetkan untuk vaksinasi," kata pernyataan ECDC dilansir Aljazirah, Kamis (24/6).
ECDC menyebut varian Delta dapat menyebabkan risiko bagi individu yang lebih rentan untuk terinfeksi dan mengalami penyakit parah. Varian ini juga dapat menyebabkan kematian jika mereka tidak sepenuhnya divaksinasi.
Menurut ECDC pemerintah Uni Eropa harus meningkatkan kecepatan dalam meluncurkan vaksinasi. Hal ini diperlukan sebagai upaya untuk menghentikan penyebaran varian Delta dan mengurangi dampak kesehatannya.
Mennurut ECDC, sejauh ini sekitar 30 persen dari kelompok usia 80 tahun ke atas dan sekitar 40 persen kelompok di atas 60 tahun masih belum sepenuhnya divaksinasi. Selain itu, sebagian besar anggota UE belum sepenuhnya menginokulasi sepertiga dari populasi mereka. ECDC juga mendesak negara-negara UE untuk berhati-hati dalam mengurangi pembatasan sosial.
"Setiap relaksasi selama bulan-bulan musim panas, pada awal Juni dapat menyebabkan peningkatan yang cepat dan signifikan dalam kasus harian di semua kelompok umur," terang ECDC.
Peningkatan ini dapat menyebabkan peningkatan pasien rawat inap dan kematian. ECDC mengatakan kenaikan tersebut berpotensi mencapai tingkat yang sama pada musim gugur 2020 jika tidak ada tindakan tambahan yang diambil.
ECDC menjelaskan dua dosis vaksin Covid-19 yang disetujui menawarkan perlindungan tinggi terhadap varian baru.
Berdasarkan studi baru oleh para peneliti Universitas Oxford yang diterbitkan dalam jurnal Cell, vaksin Covid-19 yang dibuat oleh AstraZeneca dan Pfizer efektif melawan varian Delta.
Para ilmuwan menyelidiki kemampuan antibodi dalam darah dari orang-orang, yang divaksinasi dengan rejimen dua suntikan, untuk menetralkan varian yang lebih menular. Pekan lalu, analisis oleh Public Health England (PHE) juga menunjukkan vaksin yang dibuat oleh Pfizer dan AstraZeneca memberikan perlindungan lebih dari 90 persen terhadap varian Delta.
Para peneliti Oxford juga menganalisis kemungkinan infeksi ulang pada orang yang sebelumnya memiliki Covid-19. Melihat kemampuan antibodi dalam sampel darah mereka untuk menetralkan varian, risiko infeksi ulang dengan varian Delta muncul sangat tinggi pada individu yang sebelumnya terinfeksi oleh garis keturunan Beta dan Gamma yang pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan dan Brasil.
Sebaliknya, infeksi sebelumnya dengan varian Alpha memberikan perlindungan silang terhadap semua varian yang menjadi perhatian. “(Alpha) mungkin menjadi kandidat vaksin varian baru untuk memberikan perlindungan seluas-luasnya,” kata para peneliti.