REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Status hukum (halal-haram) makan bekicot tidak ada di dalam nash Alquran dan hadist. Namun, Mazhab Imam Syafi'i mengharamkannya karena karakter bekicot yang menjijikkan.
"Ada istilah yang disebut dengan halzun atau bekicot, hukum bekicot itu kan tidak ada nashnya. Kita tidak menemukan nash yang secara langsung mengharamkan begitu juga menghalalkan," kata Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) KH Mahbub Maafi saat dihubungi, Rabu (23/6).
KH Mahbub mengatakan, di dalam Mazhab Syafi'i, bekicot itu dianggap sebagai sesuatu yang diharamkan. Karena, bekicot hewan yang menjijikkan untuk dikonsumsi oleh manusia sebagai makhluk yang mulia.
"Salah satu ukuran menjijikkannya orang Arab gak makan," katanya.
Memang teks (nash) Alquraan dan hadis Rasullah tidak ada tentang hukum halal-haram bekicot. Akan tetapi, Imam Syafi'i mengharamkan dengan karakternya yang menjijikkan itu.
"Itu salah satu pendekatannya. Maka, Mazhab Syafi'i itu mengharamkan. Karena itu menjijikkan," katanya.
KH Mahbub mengatakan, berbeda dengan pendapat Imam Syafi'i yang mengharamkan bekicot. Namun, Imam Malik, kata KH Mahbub, tidak mempersoalkannya, artinya boleh saja bekicot dimakan alias halal.
"Memang ada pendapat dari Imam Malik tentang itu menghalalkan," ujarnya
KH Mahbub meceritakan, ketika itu Imam Malik pernah ditanya tentang hewan yang ada di Maghrib itu daerah Maroko yang disebut dengan halzun. Ia menyatakan bahwa itu boleh dimakan.
Akan tetapi, kata KH Mahbub, pendapat Imam Malik itu perlu diverifikasi atau ditelaah ulang. Hal itu sebagai bentuk kehati-hatian sebagai orang Muslim.
"Tapi, menurut saya, ini pendapat perlu dilihat kembali," katanya.
Mengapa perlu ditinjau kembali pendapat Imam Malik yang dimuat dalam kitabnya, Mudawwanah al-Kubro, karena dalam pendapat tersebut ada beberapa aturan bisa ditemukan. Misalnya dalam keadaan mati, maka bekicot itu tidak boleh dimakan, tetapi jika hidup dibolehkan.
"Itu ada beberapa penjelasan dalam kitab al-Mudawwanah al-Kubro," ujarnya.
Akan tetapi, kata KH Mahbub, sebagai masyarakat Indonesia, di mana mayoritasnya adalah menggunakan pendekatan Imam Syafi'i, maka tidak bijak jika kita mengikuti pendapat Imam Malik yang membolehkan makan bekicot. Jika kita mengikuti mazhab Imam Syafi'i, tidak boleh makan bekicot.
"Saya lebih cenderung menyatakan bahwa itu adalah sesuatu yang diharamkan karena itu menjijikkan. Itu argumentasi dari para kalangan Mazhab Syafi'i. Meski saya mengakui ada pandangan pandangan Imam Malik yang menyatakan halzun itu tak ada masalah jika dimakan," katanya.
Tentang sesuatu yang halal dan haram, Nabi Muhammad bersabda: "Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas pula. Sedangkan di antaranya ada perkara syubhat (samar-samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)-Nya. Barang siapa yang menghindari perkara syubhat (samar-samar), maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Barang siapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar-samar, maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang berada di dekat pagar larangan (milik orang) dan dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan (undang-undang). Ingatlah bahwa larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasadnya; dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dan ini adalah lafazh Muslim)
Tentang kewajiban konsumsi makanan halal dijelaskan Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 168 yang artinya.
"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian. Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kalian berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui."