REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perwakilan dari Policy Strand Lead for Program MENTARI, Muhammad Suhud mengatakan, dengan adanya UU Ciptaker yang mengintervensi beberapa UU sebelumnya, membuat sektor energi menjadi tidak menarik. Hal itu, kata dia, mengingat akar masalah yang ada justru tidak diselesaikan.
"Dengan UU Ciptaker ini, hanya minerba yang (setidaknya) tumbuh. Sedangkan migas dan panas bumi masih stagnan, tidak bisa diandalkan,’’ ujar dia dalam diskusi daring Forest Digest, Rabu (30/6).
Dia mengatakan, persoalan itu ada karena business to business digabung dengan persoalan government rule, walaupun nyatanya sudah ada SKK Migas dan berbagai regulasi sebelumnya. Selain karena institusi lembaga, sektor energi yang kini menjadi tidak menarik lanjut dia, juga karena temuan migas baru di Indonesia sulit dicari.
"Semakin sulit. Semakin ke laut dalam semakin butuh investasi besar. Terutama, ketika harga minyak dunia turun karena iklim investasi turun," tambah dia.
Suhud menjelaskan alasan dua sektor yang kini sulit, panas bumi dan migas yang tidak bergerak lebih lanjut. Masalah inti dari dua sektor itu, menurut dia, karena tarif atau harga jual sudah tidak menarik lagi.
"Sehingga tidak bisa mengembalikan biaya investasinya. Padahal sudah lebih dari satu tahun diajukan revisi tarif, tidak dikabulkan juga," ucap Suhud.
Dua sektor itu, terlepas dari Minerba, dikatakan Suhud masih belum menjawab tantangan meningkatkan investasi, sehubungan dengan adanya UU Cipta Kerja. Suhud menambahkan, sektor batubara kini memang sudah terlihat tumbuh dengan adanya UU Ciptaker, karena ada yang menarik dari aturan tersebut untuk batu bara sendiri.
"Ini karena royalti kecil dan beban lebih mudah serta mendukung investasi," tuturnya. Namun demikian, dia menyatakan, hal itu sama sekali tidak berlaku pada sektor energi lainnya.
Jika menilik lebih jauh, berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) hingga 21 Juni 2021, produksi batubara nasional mencapai 267 juta ton. Jumlah itu, tumbuh melebihi 40 persen dari target produksi tahunan.