REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Hampir di semua negara di dunia hingga kini masih dalam situasi wabah pandemi Covid-19. Indonesia menjadi salah satu negara yang diterpa wabah ini. Kehadiranya, berdampak bukan hanya pada sektor Kesehatan, melainkan menerpa hampir di semua sektor.
Semakin hari, penyebaranya pun kian massif. Banyak yang terpapar wabah ini, sehingga harus menjalani isolasi baik ditempat yang sudah disediakan oleh pemerintah maupun melakukan isolasi di rumah masing-masing. Bahkan, banyak yang harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit.
Tidak hanya itu, banyak di antara mereka yang meninggal akibat terpapar wabah ini. Lantas, menjadi sebuah pertanyaan, apakah yang meninggal akibat wabah ini dalam keadaan syahid?
Menurut anggota komisi Fatwa MUI, KH Mukti Ali Qusyairi, mengatakan banyak para ulama yang mengaitkan hal ini dengan thaun. Karena bisa menimpa dan menulari banyak orang yang tidak memandang jenis kelamin, usia, kebangsaan dalam satu wilayah bahkan bisa meluas ke banyak wilayah.
Menurut Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Badz al-Maun Fi Fadhilat At-Thaun mengatakan, seseorang yang terpapar thaun atau wabah, lalu dia meninggal, maka dia meninggal dalam keadaan syahid.
Mukti Ali menerangkan, dalam hal ini, seseorang yang bisa dikatakan meninggal dalam keadaan syahid atau tidaknya, dilihat dari perilakunya dalam menyikapi wabah.
Menurutnya, sikap seorang Muslim harus selalu taat menaati protokol Kesehatan sebagai bagian dari ikhtiar dalam menghadapi Covid-19 ini. “Dia ikhtiar menaati protokol Kesehatan, memakai masker, mencuci tangan, tidak berkrumun. Dia telah ikhtiar agar tidak terpapar corona,’’ kata dia kepada MUI.OR.ID, Kamis (7/1).
Dalam kondisi seperti ini, jangan sampai kita malah tidak menaati protokol Kesehatan. sebab jika tidak, kita seperti sedang membuat celaka yang tentunya membahayakan diri kita dan orang lain.
Padahal, kata dia, Allah SWT sudah mengingatkan hambanya untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat membahayakan dirinya, seperti dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 195 yang berbunyi :
وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ “Janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri.” Selain itu, dalam sebuah hadist disebutkan :
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ “Tidak boleh melakukan perbuatan yang bisa membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.” (HR Ibnu Majah).
Jadi menurut Kiai Mukti, apabila seorang Muslim tidak menaati protokol kesehatan, lalu terpapar dan meninggal akibat wabah, dia meninggal tidak dalam syahid.
Dia mengatakan, tidak ada musibah seperti wabah ini yang menimpa manusia tanpa seizin Allah. Hal ini seperti dalam QS At-Thaghabun ayat 11:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah.”
‘’Jadi musibah, wabah, penyakit, apapun sebabnya di antaranya wabah, itu adalah musibah, nah orang kena musibah, di antaranya peyakit, lalu meninggal, itu sahid sesuai ayat itu,’’ terangnya.
Tetapi, kiai Mukti menegaskan, apabila ada orang yang telah berikhtiar menjalankan protokol Kesehatan, lalu dia terpapar dan meninggal dunia akibat wabah ini dalam keadaan syahid.
Lebih lanjut dia menjelaskan, meninggal dalam keadaan syahidnya orang yang terpapar wabah berbeda dengan para syuhada atau pejuang yang membela dirinya di medan pertempuran saat diserang orang kafir dan meninggal dalam pertempuran tersebut.
Sebab, orang yang meninggal di medan pertempuran tidak wajib untuk dimandikan dan dikafani. Berbeda halnya dengan yang meninggal akibat wabah, apabila tidak menularkan, dia tetap wajib dimandikan, dikafani, dan disholati. Tentunya, dengan catatan mengikuti saran dari ahlinya.
“Lihat sakitnya, kalau bukan sakit yang menularkan, maka tetap wajib dimandikan. Kalau misalkan corona, kalaupun dimandikan harus mengikuti protokol kesehatan dan kita tanyakan ke ahlinya (dan) mengikuti aturan dari ahlinya,’ ujar dia
Sumber: mui