Sebagai sesama penyandang tuna daksa, Dian mengerti kebutuhan atas kaki palsu.
REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG -- “Sampai tiga bulan, kayak orang gila disitu. Ketawa sendiri ingat waktu dulu punya kaki,” aku Dian Okiadi (39), mengingat awal mula perubahan hidupnya sejak 24 tahun lalu. Ia kehilangan kaki kirinya (dari betis ke bawah), dan menggunakan kaki palsu yang dibuatnya sendiri sebagai pijakan perjalanan kehidupannya.
Sebelumnya, pria kelahiran Aceh itu harus berhenti sekolah akibat sang ayahanda harus kehilangan pekerjaan dampak masa krisis tahun 1998. Dian yang tinggal bersama sang paman di Tanjung Priok mulai kehilangan tujuan dan mengaku salah pergaulan. Hingga Ian mengalami kecelakaan ketika berkendara sepeda motor dan mengakibatkan bagian kaki kirinya harus diamputasi.
“Masa itu saya sempat depresi. Lalu saya masuk panti sosial khusus difabel, satu tahun setelah mengalami kecelakaan. Di dekat situ ada pelatihan pembuatan kaki palsu dan saya sering melihat kesana. Sedikitnya mempelajari teori pembuatan kaki palsu itu. Nah, karena saya juga buntung, maka saya juga merasakan dan ingin buat. Dari situ saya mempelajari cara bikin kaki palsu,” ungkap Dian saat ditemuinya (Jumat, 09/07/2021).
Seusai hidup di panti, Dian kembali ke Aceh selama dua tahun. Mencoba berjuang dengan membuka warung nasi hingga menikah disana. Kala itu tahun 2007, ketika Dian sedang berdagang, datanglah seorang pengamen yang juga difabel dan minta dibuatkan kaki palsu seperti yang Dian gunakan. Ia bercerita, kehilangan kakinya akibat terserang penyakit diabetes.
“Setelah saya buatkan kaki palsu, kabar terdengar kepada teman-teman difabel lain yang juga membutuhkan kaki palsu. Hingga pada tahun 2010, saya mulai fokus pasang jasa membuat kaki palsu di beberapa situs platform internet. Sekarang saya gunakan website sendiri bernama www.jualkakipalsumurah.com dan dikenal dengan nama Ian Kapal, yang berarti Kaki Palsu,” sebut Dian.
“Ada rasa penyesalan, seandainya dulu gak melakukan itu, mungkin sekarang gak begini. Tapi seiring berjalan waktu psikologis manusia akan pasrah, menerima,” tambahnya.
“Biasanya tiga hingga empat tahunan masih reflek merasa punya kaki. Kadang awalnya sering nangis juga, dulu punya kaki bisa kemana-mana. Sekarang gak punya kaki, gak pede mau kenalan dengan lawan jenis, susah punya kerjaan,” gurau Ian Kapal, sembari memasang kaki palsu karya terbarunya untuk Rahmi, salah satu pelanggan yang mendatangi kediamannya di daerah Karawaci, Tangerang, pada Jumat (9/7/2021).
Rahmi mengaku,mengalami kecelakaan pada akhir tahun 2019 dan kakinya diamputasi pada pertengahan tahun 2020. Setelah peristiwa tersebut, Rahmi kehilangan pekerjaan juga bercerai dengan sang istri tercinta. Dari seorang kawan, Rahmi mendapati kabar bahwa ada bantuan kaki palsu gratis yang digulirkan Ian Kapal melalui program LPM (Lembaga Pelayan Masyarakat) Dompet Dhuafa, segera Rahmi menyambut kesempatan baik tersebut.
“Sekarang kalau tidur masih suka mimpi saya punya kaki. Pas bangun tidur ternyata kakinya ga ada. Habis kecelakaan saya bercerai. Ya, jangankan untuk beli kaki palsu, cari nafkah untuk keluarga juga jadi sulit karena saya kehilangan pekerjaan. Beruntung ada bantuan ini,” aku Rahmi, penuh syukur.
Setelah Rahmi memiliki ‘kaki baru’, Ian Kapal memberi sedikit wejangan, karena kaki palsu itu masih baru digunakan, maka kulit akan lecet, gatal, hingga kapalan. Termasuk awal-awal ada pantangan makanan agar tidak menimbulkan gatal pada luka.
Tahun 2014, Ian Kapal mulai bekerjasama dengan dinas-dinas sosial, komunitas, juga lembaga. Hingga kemudian sinergi dengan Dompet Dhuafa terjalin pada tahun 2015. Ian Kapal merasa kolaborasi seperti ini sangat membantu bagi mereka-mereka yang tidak mampu.
“Jualan kaki palsu hingga Sumatera, Kalimantan, bahkan NTT. Umumnya harga diluar mahal, beli jadi ada yang seharga 15 juta rupiah. Saya berani bilang harga paling murah se-Indonesia, kaki buatan saya dijual 2 jutaan rupiah, dan saya sebut disitu harga sesama penyandang disabilitas. Gak ada alasan apa-apa, cuma karena saya merasakan gimana rasanya jadi orang buntung. Kebanyakan mereka gak mampu, ada yang nganggur,” ungkap Dian.
Dalam pengerjaannya, ia memproduksi satu kaki palsu membutuhkan rata-rata 1 (satu) minggu pengerjaan. Karena proses dikerjakan manual, langsung ukur kaki si pemesan karena tiap orang ukuran kakinya beda-beda. Setelah dilakukan pengukuran, ia mulai mencetak, menjemur hingga kering, dan terakhir finishing.
“Saya bikin 70% untuk penderita diabetes, rata-rata di usia 40-50 tahun. Ada juga penderita penyakit lain, baru sisanya karena kecelakaan. Kalo penderita diabetes tadinya anggota tubuh kecil biasanya makin besar. Kalau kecelakaan kebalikannya, dari besar jadi mengecil. Maka itu suka bikin (pesan) lagi,” imbuhnya.
Di rumah, Ian Kapal tinggal bersama sang istri, 4 (empat) orang anak, juga sang ibunda. Kini, anak pertamanya sudah kelas 6 SD, sedangkan anak ke-4, baru saja berusia satu minggu ketika Tim Dompet Dhuafa bersilaturahmi ke kediamannya hari itu.
“Rencana ke depan, saya mau pindah ke Aceh, agar anak-anak saya lanjut sekolah dan cari kerja dari sana. Dengan harapan lebih sukses dari saya. Sebetulnya saya ingin membangun organisasi atau komunitas difabel agar relasi lebih terbangun, berkembang, sehingga saya bisa bantu lebih banyak teman-teman difabel lain. Namun karena pandemi, keinginan itu mesti saya tunda hingga entah kapan pandemi berakhir. Karena banyak yang bikin kaki palsu itu berkegiatan sebagai petani, tukang ojek, bahkan pemulung,” lirih Ian Kapal.