Senin 12 Jul 2021 20:25 WIB

Inggris akan Hapus Semua Pembatasan Covid-19

Pencabutan aturan pembatasan Covid-19 di Inggris mulai 19 Juli mendatang

Red: Nur Aini
Pasien dibawa menuju RS Royal London, Inggris, Senin (14/6). Perdana Menteri Boris Johnson membenarkan rencana pemerintahnya untuk menghapus semua pembatasan Covid-19 di Inggris mulai 19 Juli meskipun jumlah kasus mencapai angka tertinggi dalam beberapa bulan.
Foto: EPA-EFE/ANDY RAIN
Pasien dibawa menuju RS Royal London, Inggris, Senin (14/6). Perdana Menteri Boris Johnson membenarkan rencana pemerintahnya untuk menghapus semua pembatasan Covid-19 di Inggris mulai 19 Juli meskipun jumlah kasus mencapai angka tertinggi dalam beberapa bulan.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perdana Menteri Boris Johnson membenarkan rencana pemerintahnya untuk menghapus semua pembatasan Covid-19 di Inggris mulai 19 Juli meskipun jumlah kasus mencapai angka tertinggi dalam beberapa bulan.

Pekan lalu Johnson mengajukan proposal untuk mencabut aturan pemakaian masker, jarak sosial, dan bekerja dari rumah, yang dia sebut sebagai "jalan searah menuju kebebasan". Dia akan mengumumkan keputusan final dalam konferensi pers Senin petang.

Baca Juga

"Pandemi global belum berakhir," kata Johnson dalam pernyataan, Ahad (11/7).

"Jumlah kasus akan meningkat saat kita membuka kunci (pembatasan), jadi saat kami mengonfirmasi rencana itu hari ini, pesannya akan jelas. Kewaspadaan menjadi hal yang mutlak, dan kita semua harus bertanggung jawab agar kemajuan yang kita capai tidak sia-sia."

Inggris telah menjalankan salah satu program vaksinasi tercepat di dunia. Lebih dari 87 persen orang dewasa telah menerima sedikitnya satu dosis vaksin Covid-19 dan 66 persen sudah mendapatkan dua dosis. Pemerintah beralasan meski jumlah kasus meningkat, fakta bahwa jumlah kematian dan pasien yang dirawat jauh lebih rendah dibanding sebelumnya adalah bukti bahwa vaksin menyelamatkan banyak nyawa, sehingga situasi saat ini lebih aman. Namun demikian, jumlah kasus dalam beberapa pekan terakhir melonjak ke angka yang belum pernah tercapai sebelumnya sejak musim dingin.

Sejumlah ahli epidemiologi menyampaikan kekhawatiran bahwa gelaran Euro 2020 ikut berperan pada lonjakan itu. Inggris menempati urutan ke-20 dalam daftar negara dengan jumlah kematian Covid-19 per sejuta penduduk terbanyak di dunia. Pada Ahad, kerajaan itu mencatat penambahan 31.772 kasus dan 26 kematian, masing-masing naik 31 persen dan 44 persen dalam rentang sepekan.

Stadion Wembley di London pada Ahad menjadi tuan rumah final Euro 2020 antara Inggris dan Italia. Kerumunan besar orang-orang tersebar di London, termasuk di sekitar stadion. Ada sejumlah laporan bahwa sebagian orang bisa masuk ke stadion tanpa tiket dan bergabung dengan 60.000 penonton lainnya.

"Apakah saya sedang menyaksikan penularan (virus) di depan mata saya?" cuit epidemiolog WHO Maria Van Kerkhove di Twitter saat pertandingan memasuki babak terakhir.

"Pandemi #COVID-19 tidak beristirahat malam ini... #SARSCoV2 #DeltaVariant akan mengambil keuntungan dari orang yang tidak divaksin, dalam kerumunan, tanpa masker, menjerit/berteriak/bernyanyi. Menghancurkan."

Johnson pekan lalu mengindikasikan akan mencabut aturan pemakaian masker dalam ruang publik tertutup, meski menteri vaksin Nadhim Zahawi pada Ahad (11/7) mengatakan aturan menyebutkan bahwa "orang diminta untuk mengenakan masker di ruang tertutup". Kantor PM Johnson mengatakan lampu hijau untuk mencabut semua aturan pembatasan tergantung pada empat kondisi: banyaknya orang yang telah divaksin, vaksin telah mengurangi angka kematian dan kasus parah, rumah sakit tidak tertekan, dan sebaran varian baru tidak menimbulkan risiko terlalu besar.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement