REPUBLIKA.CO.ID, VALLETTA -- Malta telah membatalkan rencana untuk menutup perbatasannya pada Rabu (14/7) untuk pelancong yang belum menerima vaksin Covid-19. Pada Jumat (9/7) pemerintah mengumumkan mulai 14 Juli para pelancong harus membuktikan bahwa mereka telah divaksinasi. Kebijakan ini menimbulkan kritik dari Komisi Eropa.
Pemerintah mengumumkan pada Selasa (13/7) bahwa sebagai gantinya, kedatangan akan menghadapi periode karantina yang tidak diungkapkan. Masa isolasi mandiri wajib bagi mereka yang datang dari negara yang disertifikasi "merah" adalah 14 hari.
Dilansir Euronews pada Rabu (14/7), Komisi Eropa telah mengkritik larangan tersebut. Komisi Eropa menunjukkan bahwa sistem izin kesehatan yang diadopsi oleh Uni Eropa, di mana kedatangan harus membuktikan bahwa mereka divaksinasi, disembuhkan dari virus corona, atau baru-baru ini dites negatif, mengikat negara-negara anggota.
Tampaknya negara tersebut menutup pintu sepenuhnya pada turis dari Amerika Serikat dan negara lain. Pemerintah Malta mengatakan pada Jumat siapa pun yang tiba di Malta harus menunjukkan sertifikat vaksinasi yang diakui: sertifikat Malta, sertifikat Inggris, atau sertifikat Uni Eropa.
Pemberitahuan baru diterbitkan pada Selasa, yang mulai berlaku pada Rabu, tapi mencakup banyak negara lain, termasuk Amerika Serikat dan Jepang. Pulau Mediterania kecil berpenduduk 500 ribu orang itu membanggakan diri sebagai negara yang paling banyak divaksinasi di Uni Eropa. Malta mengklaim 79 persen populasi orang dewasa di negaranya telah menerima dua dosis.
Pada 27 Juni tidak ada kasus baru yang dilaporkan dan hanya 28 kasus yang tercatat. Akan tetapi Malta mencatat 96 infeksi baru pada Jumat sehingga total kasus yang tercatat menjadi 252.
Sejumlah besar kasus telah terdeteksi selama perjalanan bahasa dan pemerintah mengumumkan pekan lalu bahwa sekolah bahasa Inggris, yang menarik siswa dari seluruh dunia setiap tahun, akan ditutup mulai Rabu. Ratusan siswa, termasuk 150 orang Italia, terdampar di Malta, ditempatkan di karantina setelah wabah ini, menurut Kementerian Luar Negeri.