REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Di tengah banyaknya berita duka yang disampaikan melalui media sosial, sebagian orang mengirimkan stiker ucapan doa sebagai bentuk perhatiannya. Namun bagaimana hukumnya?
Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta, Dr. H. Fuad Thohari, MA menjelaskan, doa yang dikirim untuk orang yang sudah meninggal adalah bisa sampai dan bermanfaat untuk mayit. Akan tetapi apabila doa-doa tersebut hanya berbentuk stiker atau teks bacaan tanpa diucapkan terlebih dahulu sebelum dibagikan, maka tidak dikatakan sebagai doa dan tidak ada manfaatnya bagi mayit.
"Kalau langsung copas stiker tapi lisan tidak mengucapkan ini tidak bermanfaat. Sebelum di-share dibaca dahulu dalam hati diikuti dengan gerakan lisan," kata Fuad pada Rabu (14/7).
Di samping itu, Fuad mengatakan, sebagai dampak kemudahan teknologi semacam ini, berita menyenangkan yang diterima dalam grup, langsung direspon dengan berbagai stiker aneka model dan bahasa bertuliskan mubaarok, selamat, dan lainnya.
Sebaliknya apabila mendengar berita, teman atau anggota grup sakit, langsung dikirim stiker doa atau stiker ucapan yang berakar kata syafaa…(semoga Allah menyembuhkan), yang seringkali penulisan dhomir-nya salah.
Misalnya mendokan kawan atau saudara laki-laki yang sakit dengan membagikan stiker atau dengan kirim doa berbentuk tulisan, syafaakillah. Sementara kawan perempuan yang sakit, malah dikirim doa atau stiker dengan redaksi syafaakallah. Nampaknya karena buru-buru atau tidak mengerti, doa dalam stiker yang dikirim tidak dibedakan, apakah yang sakit itu laki-laki atau perempuan.
Penggunaan stiker untuk dhomir mukhatabah, mukhatabah, dhomir ghoib mufrad mudzakkar atau dhomir ghobah mufrad muannats, mestinya menyesuaikan peruntukkannya sesuai kaidah gramatika Arab (ilmu Nahwu).
Tata cara Dzikir atau berdoa baik doa untuk diri sendiri maupun mendoakan orang lain (masih hidup atau sudah wafat), ketentuannya banyak dijelaskan ulama. Para ulama menjelaskan bahwa Dzikir dan doa itu tidak cukup dangan hati. Akan tetapi disertai dengan menggerakkan lisannya,hingga (kalau pendengarannya atau situasinya normal) dia mampu mendengarkan doa atau dzikir yang dibaca. Ini pendapat mayoritas ulama. Tentu ada ulama yang tidak mensyaratkan, misalnya pendapat penulis kitab Khaziinat al Asraar, Jaliilah al Azkaar, karya Syaikh Sayid Muhamad Haqqi al Nazili.
"Saat membaca dianya juga jangan di dalam toilet, tempat sampah, tapi di tempat normal, doa untuk mayit sampaikan dengan ungkapan doa yang baik, baca doa dengan lisan sebelum dikirim baru kemudian di-share untuk kasih support," kata Fuad.
Adapun perihal ini, Fuad menyampaikan berdasarkan referensi dari beberapa keterangan seperti,
1. Kitab al-Adzkar li-Syaikhil Islam al-Imam al-Nawawi, hal. 16:
اعلم أن الأذكار المشروعة في الصلاة وغيرها واجبةً كانت أو مستحبةً لا يُحسبُ شيءٌ منها ولا يُعتدّ به حتى يتلفَّظَ به بحيثُ يُسمع نفسه إذا كان صحيح السمع لا عارض له
"Ketahuilah bahwa dzikir yang disyariatkan dalam salat dan ibadah lainnya, baik yang wajib ataupun sunnah tidak dihitung dan tidak dianggap kecuali diucapkan, sekiranya ia dapat mendengar yang diucapkannya sendiri apabila pendengarannya sehat dan dalam keadaan normal (tidak sedang bising dan sebagainya)."
2. Kitab Al Mausu'ah al-Fiqhiyah (21/249):
"لا يعتدُّ بشيء مما رتَّب الشارع الأجر على الإتيان به من الأذكار الواجبة أو المستحبة في الصلاة وغيرها حتى يتلفظ به الذاكر ويُسمع نفسه إذا كان صحيح السمع؛
"Dzikir yang wajib atau sunah, di dalam shalat atau yang lain, tidak bisa mendapatkan pahala kecuali dilafadzkan orang yang berdzikir tersebut dan (suaranya) terdengar, jika pendengarannya normal."