REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama (Kemenag) menyarankan pengelolaan dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, dan wakaf dari sejumlah lembaga filantropi atau organisasi keagamaan harus menyentuh penanganan masalah anak telantar.
"Umat Islam memiliki potensi zakat, infak, sedekah dan wakaf yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak. Dana filantropi harus diperuntukkan kepentingan penyelamatan manusia dari kemiskinan," ujar Sekretaris Ditjen Bimas Islam Kemenag M. Fuad Nasar saat dihubungi, Jumat (23/7).
Pernyataan Fuad itu merespons peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh setiap 23 Juli. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak telantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
Di Indonesia, kata dia, jumlah anak terlantar hingga kini masih tinggi. Menurut data Kementerian Sosial 2016, terdapat sekitar 4,1 juta anak telantar di seluruh Indonesia. Angka itu diprediksi naik mengingat dampak badai krisis pandemi Covid-19 yang hingga saat ini masih sulit tertangani.
Dalam mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan langkah terintegrasi dalam upaya mengentaskan anak miskin, bukan melalui razia yang tak berujung muaranya. "Tapi lebih penting dan ditunggu masyarakat adalah memberi solusi permanen dengan mengatasi akar masalahnya. Dalam UUD 1945 pasal 34 bahwa fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara," kata dia.
Selain kewajiban yang melekat dengan fungsi pemerintah, keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan anak telantar atau anak jalanan. Peran dan kontribusi organisasi Islam masih diperlukan, bahkan mesti dilipatgandakan dalam mengatasi masalah ini.
"Seorang Muslim berkewajiban membantu dan memelihara anak-anak yatim, anak-anak yang tidak mampu, anak dari keluarga miskin, dan telantar dalam arti mereka terpisah atau tidak diketahui orang tuanya," kata dia.