Sabtu 24 Jul 2021 10:07 WIB

112 Tahun Muhammadiyah dan Pasang Surut Politik Kebangsaan

Mumadiyah bersikap positif dan konstruktif terhadap kadernya yang aktif di politik

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Muhammad Subarkah
KH Ahmad Dahlan dengan para santrinya di Langgar Kidul Muhammadiyah pada awal dekade 1900-an.
Foto: Gahetna.NL
KH Ahmad Dahlan dengan para santrinya di Langgar Kidul Muhammadiyah pada awal dekade 1900-an.

REPUBLIKA.CO.ID, -- Organisasi Muhammadiyah menginjak usia 112 tahun pada 2021. Dengan usia yang terus bertambah, pengaruh  Muhammadiyah kian meluas ke berbagai sektor. Selama itu pula, Muhammadiyah bergesekan dengan dunia politik baik secara langsung maupun tak langsung.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, memaknai politik bagi Muhammadiyah merupakan bagian dari urusan keduniawian yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Tujuannya agar mampu menjadikan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan lebih baik, damai, berasatu, berdaulat, adil, makmur, dan maju serta membawa kebahagiaan hidup bersama. 

 

Haedar menilai politik bukan hanya urusan memperjuangkan dan menduduki kekuasaan dalam pemerintahan, tetapi menciptakan kebaikan hidup bersama bagi kehidupan rakyat. Ia menyarankan para pihak yang menduduki pemerintahan di eksekutif, leislatif, dan yudikatif maupun lembaga kenegaraan lainnya untuk memanfaatkan jabatan bagi orang banyak. 

 

"Di situlah letak pertanggungjawaban dan moral politik elite maupun warga dalam berpolitik. Jangan merasa sukses berpolitik hanya karena berhasil menduduki kekuasaan tanpa relevansinya dalam membawa kebaikan bagi bangsa dan negara," kata Prof Haedar kepada Republika, belum lama ini.

 

Haedar mengingatkan agar politik tidak hanya dilihat dari kacamata pragmatis, melainkan juga dari aspek moral dan 

filosofis. Sehingga jelas landasan politik itu bagi kemaslahatan rakyat Indonesia.

 

Bila merunut ke belakang, Haedar mengungkapkan pada masa perjuangan di era kolonial, Muhammadiyah menjalankan politik kebangsaan untuk kebangkitan nasional dan mewujudkan Indonesia merdeka. Bersama Sarekat Islam dan Boedi Oetomo, Muhammadiyah membangkitkan kesadaran rakyat untuk merdeka. Lalu Muhammadiyah mendirikan kepanduan tanah air "Hizbul Wathan", yang dari gerakan ini melahirkan figur Soedirman.

 

Muhammadiyah juga pernah melakukan protes kepada pemerintah Hindia Belanda soal kebijakan Ordonansi Guru tahun 1926 yang merugikan umat Islam. Aisyiyah juga menjadi salah satu inisiator Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 untuk kemerdekaan. 

 

"Jelang kemerdekaan melalui BPUPKI lewat tokoh kuncinya Ki Bagus Hadikusumo bersama tokoh bangsa lainnya terlibat aktif dalam perumusan Dasar Negara Pancasila, bahkan menjadi penentu kompromi soal tujuh kata  Piagam Jakarta menjadi Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila," ujar Haedar.

 

Pada era itu politik bagi Muhammadiyah sebagai jalan perjuangan kemerdekaan melawan penjajah dan meletakkan dasar Indonesia merdeka tahun 1945. Bahkan di era Agresi Belanda 1946-1949, Muhammadiyah terlibat langsung dalam perang kemerdekaan secara fisik melalui Askar Perang Sabil di DIY dan Jawa Tengah di bawah komandan utama Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua PB Muhammadiyah periode 1942-1953. 

 

"Tidak terhitung perjuangan di bidang pendidikan, kesehatan, sosial kemasyarakatan, dan modernisasi masyarakat Indonesia yang menjadi pilar strategis bagi kemerdekaan dan pembangunan Indonesia. Jadi Muhammadiyah secara kesejarahan ikut mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sekaligus membangunnya setelah merdeka," ucap Haedar.

 

Di sisi lain, Haedar menyatakan kelembagaan Muhammadiyah tidak terlibat dalam politik praktis karena merupakan ranah partai politik. Tapi ia mengakui kader Muhammadiyah didorong menempati posisi dalam pemerintahan baik melalui partai politik maupun melalui kelompok kepentingan. Tujuannya menjalankan fungsi dakwah dan tajdid di berbagai ranah kehidupan tersebut.

 

"Sehingga ada idealisasi dan bukan semata-mata praktis atau pragmatis semata. Itulah aktualisasi kader Muhammadiyah agar menjadi orang yang bermanfaat bagi kehidupan," sebut Haedar.

 

Oleh karena itu, Haedar memastikan Muhammadiyah sesuai khittahnya tidak memiliki hubungan langsung dengan politik praktis sekaligus tak akan menjadi parpol. Tetapi Muhammadiyah memandang politik praktis sebagai hal positif untuk membangun bangsa dan negara. Para kader dapat menapaki jalan politik praktis melalui partai politik dan kelompok kepentingan sesuai dengan prinsip ideologis Muhammadiyah.

 

"Muhammadiyah secara konstruktif menjalankan politik kebangsaan untuk membangun bangsa dan negara, perwunudan dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid," tutur Prof Haedar.

 

Lalu bagaimana sikap Muhammadiyah terhadap kadernya yang berkecimpung di partai politik?

 

Prof Haedar menyampaikan Muhammadiyah bersikap positif dan konstruktif terhadap kadernya yang aktif di partai politik, karena lahan politik  penting bagi kemaslahatan umat. Muhammadiyah, lanjutnya, bahkan mendorong kadernya yang berkecimpung di partai politik agar sukses dalam berpolitik.

 

Muhammadiyah berkomitmen memfasilitasi dan memediasi kadernya yang aktif di politik praktis sesuai kemampuan dan koridor sebagai ormas dakwah. Muhammdiyah juga siap membantu kadernya di bidang lainnya seperti bisnis, profesi, kemasyarakatan. Haedar menyarankan para kader  memadukan antara dukungan organisasi dan etos individual yang gigih, berkomitmen, dan berwawasan luas, memiliki radius pergaulan yang inklusif, dan dicintai rakyat. 

 

"Semua jalan politik dan kehidupan tersebut niati sebagi aktualisasi diri beribadah dan menjalankan kekhakifahan di muka bumi untuk menjadi rahmat bagi semesta alam," ujar Prof Haedar. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement