REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika
Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur berbincang serius dengan Panglima TNI Laksamana Widodo AS, Wakil Panglima TNI Jenderal Fachrul Razi, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Tyasno Sudarto, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Achmad Sutjipto, dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Hanafie Asnan.
Turut menyaksikan di bangku belakangnya, Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI Letjen Agus Widjojo dan Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letjen Djamari Chaniago. Sekilas terjadi keharmonisan antara Presiden Gus Dur dan petinggi TNI saat perayaan hari ulang tahun (HUT) TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur pada 5 Oktober 2000, itu.
Namun, apa yang terjadi keesokan harinya? Presiden Gus Dur memecat Sutjipto sebagai KSAL dan Tyasno sebagai KSAD. Bahkan, rumor berkembang Widodo juga akan dipecat sebagai Panglima TNI dan digantikan KSAU Hanafie. Namun untuk pencopotan Panglima TNI tidak mudah, sebab harus melalui mekanisme di parlemen sehingga posisi Widodo relatif aman.
Sutjipto merasakan bahwa ada sesuatu yang janggal dari pencopotannya yang mendadak itu. Apalagi, Panglima TNI menyatakan tidak tahu menahu alasan pencopotan tersebut. Ia kemudian menanyakan masalah itu kepada Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.
Megawati mengakui bahwa Gus Dur menceritakan alasan pencopotan itu, karena Sutjipto diketahui 11 kali bertemu dengan mantan Presiden Soeharto. Mendengar penjelasan Megawati, Sutijipto mengungkapkan bahwa dia terakhir kali berjumpa dan bersalaman dengan Presiden Soeharto ketika dia menjadi Panglima Komando Armada Barat (Pengkoarmabar) dalam sebuah upacara militer, empat tahun lalu, yakni pada 1996.
Sutijipto merasa difitnah dan menduga ada yang salah memberikan informasi kepada Gus Dur. Namun beberapa hari kemudian, ia tetap harus menyerahkan jabatan KSAL kepada Laksdya Indroko Sastrowiryono, yang sebelumnya menjadi Wakil KSAL.
Belakangan diketahui nama Soeharto yang dimaksud, sebenarnya bukan mantan Presiden Soeharto, melainkan Letjen Suharto. Mantan Komandan Korps Marinir saat pecah kerusuhan tahun 1998, itu memiliki kedudukan sebagai Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan. (Baca: Acak-Acak TNI dan Polri Satu Pemicu Penggulingan Gus Dur)
Kedekatan Sutjipto dengan Suharto tentu saja wajar, karena keduanya sama-sama lulusan AAL 1969. Akhirnya, Sutjipto menduga bahwa pembisik Gus Dur soal dirinya justru berasal dari dalam Angkatan Laut juga. Dia adalah Letnan Kolonel Laut (Pelaut) Juanda Wijaya yang memiliki hubungan dekat dengan Gus Dur. Dia menjadi staf ahli Menteri Luar Negeri Alwi Shihab.
Akan tetapi, Gus Dur sudah telanjur memecat Sutjipto. Selain KSAL, KSAD pun diganti. Tyasno akhirnya digantikan oleh Letjen Endriartono Sutarto yang sebelumnya menjadi Wakil KSAD setelah terjadi tarik menarik sengit antara Presiden Gus Dur dan petinggi TNI.
Tyasno pun tidak diberitahukan Panglima TNI soal pencopotan mendadak oleh Gus Dur. Belakangan, ia mendapatkan jawaban, dianggap tidak bisa mengamankan perwira yang sedang direncanakan Gus Dur akan menjadi pimpinan Angkatan Darat. Perwira tinggi itu adalah Letjen Agus Wirahadikusuma atau dikenal dengan singkatan AWK.
Gus Dur memang menginginkan AWK yang dikenal sebagai perwira reformis untuk menjadi KSAD menggantikan Tyasno. Namun, upaya itu tidak mudah, bahkan menghadapi perlawanan dari perwira tinggi Angkatan Darat.
Dua bulan sebelumnya, pada 1 Agustus 2000, justru AWK dicopot dari kursi Panglima Kostrad. Padahal, jabatan itu baru dipegangnya selama empat bulan setelah sebelumnya dia menjabat sebagai Panglima Kodam (Pangdam) Wirabuana di Makassar, Sulawesi Selatan.
Kontroversi AWK
Mengapa KSAD Tyasno mengusulkan kepada Panglima TNI Widodo untuk mencopot AWK dari posisi Pangkostrad? Saat itu untuk mereformasi TNI, khususnya Angkatan Darat, Gus Dur membutuhkan dukungan dari dalam tubuh Angkatan Darat. Pilihan itu, antara lain, dipercayakan kepada AWK, Mayjen Saurip Kadi dan Brigjen Romulo Sim olon. Ketiganya teman satu angkatan dengan SBY, yakni lulusan Akmil 1973.
AWK memang dianggap kontroversial dan terlalu berani. Ia salah seorang perwira yang gencar mendorong terjadinya per ubahan dalam tubuh TNI. Tak heran kalau kemudian ia terlibat perselisihan pendapat dengan rekan-rekan, termasuk seniornya di TNI, Jenderal (Purn) Wiranto. AWK dengan lantang meneriakkan perlunya penghapusan dwifungsi TNI.
Karena baginya, itu adalah 'anak haram' rezim Orde Baru. Ia juga yang mengusulkan supaya komando teritorial dikurangi dengan menghapus Komando Rayon Militer (Koramil) dan Bintara Pembina Desa (Babinsa). "Di Jawa tidak perlu ada lagi Kodam. Kodam hanya diperlukan di daerah-daerah yang jangkauan peme rintah dae rahnya masih terbatas," kata keponakan mantan Wapres Jenderal (Purn) Umar Wirahadikusuma tersebut.
Ketika memegang jabatan Asisten Perencanaan Umum Panglima TNI, ia setuju mulai tahun 2000 TNI tidak lagi punya wakil di DPR. Selain itu, TNI juga tidak akan menolak UUD 1945 diamendemenkan bila memang sudah tidak sesuai. "Kalau rakyat menghendaki dihapus, kita hapus wakil (TNI) di DPR," kata Agus saat menjadi pembicara seminar tentang Hubungan Sipil-Militer di Indonesia.
Menurutnya, TNI kini telah dan akan melakukan melakukan reformasi internal. Pada masa depan, keterlibatan TNI dalam bidang politik hanya sebatas tingkat penentuan policy semata, yaitu di MPR. "Dia (TNI) tidak boleh merambah ke mana-mana. Bila anggota TNI ingin menjadi gubernur atau bupati, harus pensiun," kata Agus saat itu.
Yang paling menghebohkan, saat AWK mengaudit keuangan perusahaan-perusahaan di bawah Yayasan Dharma Putra, Kostrad yang dinilainya janggal. Tim auditor independen menemukan adanya kebocoran dana lebih dari Rp 223 miliar. Kasus tersebut menyeret mantan Pangkostrad Letjen Djaja Suparman yang dikenal dekat dengan Wiranto.
Dengan demikian, sejumlah jenderal sempat membicarakan manuver AWK. Disebut-sebut ada beberapa kesalahan AWK, terutama perilakunya yang dianggap melanggar etika dan disiplin prajurit. Mi alnya, ketika mengusulkan Wiranto mundur dari posisi Menko Polkam pada Februari 2000 lalu.
Wiranto akhirnya memang di copot Presiden Gus Dur. Pencopotan AWK, Tyasno dan Sutijipto, menjadi bagian dari dinamika politik tingkat tinggi yang melibatkan perseteruan Presiden Gus Dur dengan petinggi militer.
"Silakan. Saya siap di-DKP-kan asal semua berlangsung terbuka, transparan, dan disaksikan langsung oleh publik," tantang AWK. Pernyataan itu dikemuka kannya setelah munculnya gagasan mem bawa AWK ke dalam Dewan Kehormatan Perwira (DKP).
Pertengahan September 2000, usai lawatan kenegaraan ke sejumlah negara, Gus Dur menerima laporan bahwa di Bandung, sekitar 45 jenderal Angkatan Darat, dimotori KSAD Jenderal Tyasno Sudarto, hampir semua Pangdam seluruh Indonesia hadir dalam pertemuan dengan tuan rumah Komandan Kodiklatad Letjen Amir Sembiring.
Tajuk pertemuan itu adalah presetya (janji) perwira. Hasilnya, sebuah memorandum. Poin pertama dan kedua, pernyatan setia kepada Negara Kesatuan RI dan pemerintahan yang sah. Yang kon troversial adalah poin terakhir, yaitu permintaan para perwira kepada KSAD untuk mengajukan AWK ke DKP karena dianggap beberapa kali melanggar kode etik perwira.
Setelah pertemuan di Bandung tersebut, dua hari menjelang Hari TNI tahun 2000 itu, dipimpin Pangdam Jayakarta Mayjen Slamet Kirbiantoro, empat Pangdam se-Jawa, yakni’ Pangdam Siliwangi Mayjen Zainuri Hasyim, Pangdam Diponegoro Mayjen Sumarsono, dan Pangdam Brawijaya Mayjen Sudi Silalahi, serta Danjen Kopassus Mayjen Amirul Isnaeni membawa memorandum itu ke kediaman Wakil Presiden Megawati.
Kepada Megawati, delegasi ini terus terang menyampaikan keberatan para perwira Angkatan Darat terhadap kemungkinan naiknya AWK menjadi KSAD. Di depan Wapres, mereka tak sungkan-sungkan menyampaikan ancaman, kalau Gus Dur tetap bersikukuh menunjuk AWK, sejumlah jenderal Angkatan Darat akan mundur.
Saat menjemput kedatangan Presiden di Halim Perdanakusumah, ihwal itulah yang dibisikkan Mega ke Gus Dur, dan berlanjut di Istana Merdeka. Itulah mengapa wajah Gus Dur tampak memerah menahan geram.
Presiden pun memanggil Menko Sospolkam SBY dan meminta membicarakan laporan Megawati itu kepada para petinggi militer. Melalui SBY, Gus Dur tetap memperjuangkan AWK, setidaknya di posisi Wakil KSAD, Kasum TNI, atau Ko mandan Kodiklatad.
Rupanya, para perwira Angkatan Darat tidak mundur selangkah pun. Kepada Wakil KSAD Letjen Endriartono Sutarto, salah satu kandidat kuat KSAD, misalnya, SBY minta Sutarto mau menerima AWK menjadi Wakil KSAD. Namun, Sutarto menolak dan mengusulkan Pangkostrad Letjen Ryamizard Ryacudu, seperti usulan presiden sebelumnya, sebagai Wakil KSAD.
Mendapatkan perlawanan seperti itu, Gus Dur memanggil sejumlah menteri, antara lain, Menteri Pertahanan Mahfud MD dan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab untuk meminta saran. Kedua menteri itu berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang didirikan Gus Dur.
Pada pertemuan itu disepakati untuk tidak mengganti Panglima TNI. Mutasi hanya berlangsung pada tingkat KSAD dan KSAL. "Tidak ada penggantian Panglima TNI. Yang ada perombakan di tingkat Kepala Staf Angkatan ke bawah," tutur Menteri Pertahanan Mahfud MD.
Padahal, sebelumnya, santer dibicarakan kemungkinan naiknya KSAU Hanafie Asnan menggantikan Widodo sebagai Panglima TNI. Presiden tampaknya memilih memperkecil resistansi di tubuh TNI.
AWK pun akhirnya tidak menda patkan posisi apapun. Posisi Wakil KSAD yang ditinggalkan Endriartono dibiarkan kosong selama satu bulan. Posisi itu kemudian dipercayakan kepada Mayjen Kiki Syahnakrie (Akmil 1971) yang sebelumnya menjadi Pangdam Udayana di Denpasar, Bali.
Rangkaian peristiwa mutasi di tubuh Angkatan Darat seperti itu mengisyaratkan bahwa para perwira Angkatan Darat sedang mengibarkan bendera peringatan kepada Presiden. "Ini sebuah smoke signal," tutur pengamat militer Salim Said.
Pertemuan 45 perwira di Bandung sampai maju-mundurnya pengumuman penggantian KSAD dan Wakil KSAD, tidak pernah terjadi selama 30 tahun terakhir. Sebelumnya selalu diumumkan, baru kemudian dicari waktu pelantikan. Bukan penundaan yang berlarut dan mengundang spekulasi publik.
Peristiwa itu menunjukkan bahwa proses reformasi di tubuh TNI pada era Presiden Gus Dur tidak semudah membalik telapak tangan. Bahkan, terjadi konflik elite Gus Dur dengan petinggi TNI.
*Tulisan ini terbit di Harian Republika pada 5 September 2014 dengan judul 'Zig-Zag Gus Dur Vs TNI'