REPUBLIKA.CO.ID,YERUSALEM -- Perdana Menteri Israel Naftali Bennett mengeluarkan peryataan terbaru tentang kebebasan orang Yahudi berdoa di dalam Masjid Al-Aqsa. Hal ini sekali lagi menyoroti perdebatan tentang Yerusalem dan lingkungan Sheikh Jarrah, serta pertempuran berkelanjutan mereka melawan negara pendudukan sejak Ramadhan.
Pernyataan Bennett juga menyoroti Gerbang Damaskus Kota Tua sebagai fokus konfrontasi. Ini meluas ke sebagian besar wilayah kota yang diduduki, terutama setelah pasukan keamanan Israel menyerbu menara Mughrabi dan Bab Al-Silsila di Tempat Suci Al-Aqsa, serta memotong kabel pengeras suara masjid.
Dilansir di Middle East Monitor, Selasa (27/7), orang-orang Yerusalem Palestina marah ketika Israel mencoba menghalangi akses melalui Gerbang Damaskus menggunakan penghalang logam. Mereka ingin melakukan pertemuan rutin warga Palestina di Masjid Al-Aqsa, terutama di malam hari selama bulan Ramadhan.
Puncak dari keributan ini adalah Pertempuran Pedang Yerusalem, dimana warga Palestina dari Gaza melakukan perlawanan untuk mengekang Yudaisasi kota yang diduduki dan pengusiran paksa penduduk lingkungan Sheikh Jarrah.
Meskipun serangan Israel terhadap Gaza menghentikan serangan pemukim di Al-Aqsha, pembentukan pemerintah Israel baru dan keteguhan para pemukim memunculkan kembali serangan di masjid dan pawai provokatif di dalam maupun daerah sekitarnya.
Pemilihan pemimpin di Israel antara 2019 dan tahun ini tidak menghasilkan pemerintahan yang stabil, tetapi malah memperkuat kehadiran sayap kanan di parlemen. Knesset, MK ekstremis, tidak ragu-ragu mengungkapkan ambisi mereka mengambil alih Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa.
Sejumlah undang-undang dan amandemen yang ditandai dengan semangat keagamaan telah diberlakukan selama beberapa tahun terakhir. Hal ini mengancam status penduduk Palestina di Yerusalem, rumah mereka dan tempat-tempat suci mereka.
Dengan delapan belas MK sekarang mewakili partai-partai yang menganjurkan serangan terhadap Masjid Al-Aqsa dan akan melanjutkan serangan yang telah terjadi antara tahun 2015 dan 2021.
Beberapa bentuk perlawanan Palestina adalah 2015 Knife Intifada, pemberontakan Bab Al-Asbat 2017, kerusuhan Bab Al-Rahma pada 2019 dan peristiwa Gerbang Damaskus beberapa bulan yang lalu. Apa yang terjadi di Gerbang Damaskus bukanlah peristiwa yang terisolasi.
Israel mencoba memasang gerbang elektronik di sana pada tahun 2017. Mereka juga telah mengeksploitasi insiden provokatif lainnya termasuk yang disebutkan di atas.
Dalam beberapa bulan terakhir, kelompok pemukim menyerukan pertemuan besar di Gerbang Damaskus, di bawah slogan "kehormatan Yahudi". Mereka dilindungi oleh pasukan keamanan yang menyerang warga Palestina, dimana mereka berupaya memprotes kehadiran para pemukim di kota yang diduduki.
Konfrontasi telah menyebabkan seruan terbuka bagi warga Palestina untuk diusir dari Yerusalem, pembersihan etnis, bahkan agar mereka dibunuh.
Peristiwa baru-baru ini di Masjid Al-Aqsa merupakan bentuk lanjutan dari sejumlah tindakan yang sebelumnya diambil oleh pemerintah Israel dan kelompok pemukim Yahudi. Salah satunya tentang keberadaan terowongan yang ditemukan di bawah masjid, "pembuktian" keberadaan Yahudi kuno, perayaan kelahiran sapi dara merah, cikal bakal pembangunan Kuil untuk menggantikan Al-Aqsha, serta lapisan hukum yang diberikan kepada orang Yahudi untuk berdoa di masjid.
Sementara itu, serangan pemukim semakin besar dan lebih sering. Tahun lalu, selama pandemi, tempat suci Al-Aqsa diserbu oleh lebih dari 30.000 pemukim Yahudi, dua kali lipat jumlah orang Israel yang memasuki daerah itu pada 2016 dan lima kali jumlah yang melakukan aksi serupa pada 2009.
Otoritas agama Yahudi tampaknya memberikan legitimasi untuk serangan semacam itu, meskipun Yahudi Haredi bersikeras melarang kaumnya memasuki tempat kudus jika mereka keliru memasuki "tempat maha suci" saat dalam keadaan tidak suci.
Larangan ini juga kembali ditegaskan baru-baru ini oleh para rabi senior di Israel. Namun, lebih dari 600 rabi dari komunitas Yahudi mengklaim bahwa larangan semacam itu sudah ketinggalan zaman.
Ekstremis sayap kanan di Israel bersama polisi telah setuju mengizinkan mereka memasuki Al-Aqsa dalam jumlah yang lebih besar dari sebelumnya. Pada saat yang sama, polisi Israel mencopot anggota Gerakan Islam di Israel yang menghabiskan seluruh waktu mereka di Masjid Al-Aqsha guna mempertahankan kehadiran Muslim di sana. Gerakan ini dilarang di Israel pada 2015.
Mengingat jumlah serangan bersenjata Yahudi di Masjid Al-Aqsa meningkat, orang-orang di belakang mereka tampaknya mengabaikan peringatan oleh dinas keamanan yang menyebut tindakan ini dapat memperburuk ketegangan antara Palestina dan Israel. Pemerintah baru, seperti pendahulunya, menutup mata.