REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Arab Saudi menindaklanjuti situasi saat ini di Tunisia. "Kerajaan menghormati segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan internal Tunisia dan menganggap (situasi) tersebut sebagai masalah kedaulatan," kata kementerian luar negeri Saudi dalam sebuah pernyataan, Selasa (27/7).
Pemerintah Saudi menegaskan dukungannya untuk keamanan dan stabilitas Tunisia. Saudi juga menegaskan kepercayaannya pada kepemimpinan Tunisia untuk mengatasi keadaan ini dan mencapai kehidupan yang layak dan kemakmuran bagi rakyat Tunisia.
Dilansir di Arab News, Rabu (28/7), Kerajaan meminta komunitas internasional mendukung Tunisia dalam situasi ini untuk mengatasi tantangan kesehatan dan ekonominya.
Presiden Tunisia Kais Saied pada Senin memecat perdana menteri dan membekukan parlemen setelah protes massa nasional yang penuh kekerasan meletus pada Ahad. Negara Afrika Utara itu juga berjuang untuk memerangi pandemi Covid-19 yang telah membuat sistem kesehatan hampir runtuh.
Presiden Tunisia Kais Saied pada 25 Juli menggulingkan pemerintahan Perdana Menteri Hichem Mechichi, membekukan parlemen dan mengambil alih kekuasaan eksekutif. Partai-partai politik di Tunisia menuduh presiden melakukan kudeta, tetapi Saied mengatakan dia bertindak sesuai dengan Konstitusi. Banyak negara, termasuk Turki, telah menyatakan keprihatinan dan mengutuk langkah tersebut.
PM Hichem Mechichi yang diberhentikan mengatakan dirinya akan menyerahkan kekuasaannya kepada siapa pun yang ditunjuk oleh presiden. Dalam sebuah pernyataan, Mechichi mengatakan dirinya tidak akan memainkan peran obstruktif dalam memperumit situasi di Tunisia.
Tunisia dipandang sebagai satu-satunya negara yang berhasil melakukan transisi demokrasi menyusul pemberontakan populer Arab Spring. Tetapi gagal dalam mencapai stabilitas ekonomi dan politik, dan lonjakan kasus virus corona baru-baru ini memicu frustrasi publik.