Kamis 29 Jul 2021 05:05 WIB

Saling Menasihati

Nasihat hendaknya lebih dilihat dari substansinya, bukan siapa yang menyampaikannya.

Red: Ani Nursalikah
Saling Menasihati
Foto: MGROL100
Saling Menasihati

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam pemahaman umum, nasihat adalah menghendaki suatu kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain dengan cara ikhlas baik berupa ucapan maupun perbuatan. Hakikat nasihat adalah mengajak, menunjukkan, mengingatkan pada kebaikan dan kebenaran yang sesuai dengan aturan Allah.

Allah memberikan petunjuk supaya manusia dalam hidupnya beruntung atau tidak mengalami kerugian. Demi masa, sungguh manusia itu dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati (tawashau) untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran (Qs. Al-‘Ashr [103]: 1-3).

Baca Juga

Tawashau (saling menasihati) secara umum diartikan sebagai menyuruh secara baik. Tampil kepada orang orang lain dengan kata-kata yang halus agar yang bersangkutan bersedia melakukan suatu pekerjaan yang diharapkan secara kontinyu. Dari sini dapat dipahami bahwa isi nasihat atau wasiat hendaknya dilakukan secara bersinambung bahkan mungkin yang menyampaikan melakukannya secara terus-menerus dan tidak bosan-bosannya menyampaikan nasihat itu kepada yang dinasihati.

Apa jadinya hidup manusia apabila tidak ada kebiasaan saling nasihat-menasihati. Nasihat sangat membantu seseorang dalam memaknai kehidupan, meringankan beban persoalan, dan penghibur ketika dalam duka. Dalam praktik sehari-hari nasihat datang orang-orang dekat, keluarga, sahabat, dan teman-teman. Nasihat kadang juga datang dari orang-orang yang tidak kenal dan bahkan datang dari orang tidak disukai. Tentu saja nasihat paling luhur adalah yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, yakni berupa agama.

Nasihat hendaknya lebih dilihat dari substansinya, bukan dari siapa yang menyampaikannya. Islam tidak membedakan dari mana asal datangnya nasihat itu menjadi pertimbangan suatu nasihat diterima atau ditolak.

Sepanjang nasihat itu benar, disampaikan dengan cara benar dan tulus, membawa kebaikan bagi yang bersangkutan, tidak ada alasan untuk menolaknya. Bagi para pejabat bisa jadi nasihat itu datang dari bawahannya, bagi para pemimpin sangat memerlukan nasihat dari para pembantunya bila memang ada yang kurang tepat dalam kepemimpinannya.

Nasihat dapat berfungsi sebagai kontrol atas perilaku dan sikap-sikap seseorang. Dengan nasihat dan ajakan kepada kebaikan seseorang dapat berubah dari yang tidak paham menjadi paham, dari yang lupa menjadi ingat, dari salah menjadi sadar karena diingatkan.

Sudah barang tentu, semua itu tidak terlepas dari kehendak Allah, karena upaya seseorang hanyalah terbatas dalam mengajak atau saling menasihati. Orang yang dinasihati menerima atau menolak tergantung pada kehendak hati dan hidayah Allah. Hanyalah Allah Yang Maha Kuasa yang menguasai hati manusia.

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (Qs. Al-Qashash [28]: 56).

-----

Mutohharun Jinan, Pengasuh Pondok Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Sumber: Majalah SM Edisi 20 Tahun 2018

Link artikel asli

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement