REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Myanmar menghadapi situasi kesehatan yang mengkhawatirkan di tengan pandemi. Enam bulan sudah kudeta militer telah menyeret Myanmar dalam kekacauan sosial dan politik.
"Ini adalah contoh nyata dari salah urus militer Myanmar yang menghancurkan dan korban jiwa yang sangat besar. Dengan terus menerus menganiaya petugas kesehatan, mengancam dan menangkap mereka, otoritas militer telah mengurangi sistem kesehatan yang rapuh ke tingkat minimum selama pandemi global. Ini tidak bisa diterima dan bisa dicegah," kata Wakil Direktur Regional Amnesty International untuk Kampanye, Ming Yu Hah dikutip dari thewest pada Ahad (1/8).
Data resmi melaporkan total 294 ribu penularan dan 8.942 kematian. Namun, banyak ahli menganggap angka-angka ini tidak mencerminkan kenyataan yang jauh lebih drastis. Sebab, negara itu hanya memiliki kapasitas pengujian 15 ribu tes per hari untuk populasi 55 juta.
Dalam sebulan terakhir saja, lebih dari 5 ribu orang telah meninggal karena virus corona meskipun penguncian nasional diberlakukan oleh militer pada 17 Juli. Situasi kesehatan dalam krisis politik yang mendalam sejak kudeta militer pada 1 Februari, telah memburuk. Dokter dan perawat mogok untuk menolak komando militer.
Di Yangon, kota terpadat di negara itu, orang-orang yang terinfeksi membutuhkan bantuan menggantung pakaian kuning atau putih dari jendela mereka sebagai sebuah kode bagi tetangga.
"Ketika orang meminta bantuan dalam kebanyakan kasus itu berarti seluruh keluarga sakit atau terinfeksi. Saya diminta bantuan di satu tempat penampungan di mana semua penghuninya sakit Covid-19. Mereka tidak bisa keluar," kata seorang pekerja sosial.
Sekelompok mantan perwakilan PBB di Myanmar menyerukan intervensi kemanusiaan segera oleh PBB. Sebelumnya, Inggris memperingatkan hingga setengah dari populasi negara itu dapat terinfeksi dalam dua minggu ke depan karena varian Delta yang sangat menular telah menyebar ke seluruh Asia Tenggara.