REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan negara-negara Asia Tenggara yang dikenal dengan ASEAN memasuki usia ke-54 tahun pada Ahad (8/8).
Perkumpulan yang diresmikan melalui deklarasi bersama di Bangkok, Thailand, pada 8 Agustus 1967 didirikan oleh lima negara di kawasan ini. Lima negara pendiri blok ini adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, masing-masing menjadi anggota ASEAN pada tanggal yang sama dengan berdirinya blok ini, yakni 8 Agustus 1967.
Selanjutnya Brunei Darussalam menyusul menjadi anggota pada 8 Januari 1984, Vietnam pada 28 Juli 1995, Laos dan Myanmar secara bersamaan pada 23 Juli 1997, dan Kamboja pada 30 April 1999. Blok beranggotakan 10 negara ini mengenang hari jadinya ketika kawasan ini menghadapi ancaman Covid-19, konflik di laut China Selatan, dan kudeta junta militer di Myanmar. Sejak kudeta 1 Februari 2021 960 warga sipil Myanmar tewas dan 7.000 orang ditangkap, data hingga Senin.
Kekerasan yang meluas dan berubah menjadi perang saudara antara milisi etnis dengan militer Myanmar menjadi sorotan dunia, sekaligus menjadi persoalan serius bagi ASEAN.
Dalam ucapan tertulis pada Ahad, pemimpin junta Min Aung Hlaing memuji ulang tahun ASEAN ke-54 tahun. Namun, Hlaing tidak menyinggung utusan khusus ASEAN untuk Myanmar.
Menteri Luar Negeri Kedua Brunei Erywan Yusof, ditunjuk oleh KTT ASEAN untuk datang ke Myanmar. Dengan misi mengakhiri kekerasan pasca-kudeta dan mendorong pembicaraan antara militer dan oposisi, Erywan membutuhkan akses penuh ke semua pihak di Myanmar.
Meski tanpa jaminan akses penuh dari junta selama di Myanmar, sejauh ini ASEAN tidak dapat banyak berbuat.
Wajar jika keberadaan ASEAN dipertanyakan oleh publik, tepat di hari ulang tahunnya ke-54. Apakah peran blok ini masih efektif saat ini?
-Konteks pendirian vs peran saat ini
Pakar hubungan internasional Universitas Indonesia Evi Fitriani mengatakan efektifitas peran ASEAN di kawasan jangan dilupakan dari konteks saat didirikan. Ketika didirikan, negara-negara di ASEAN terlibat dari tiga jenis perang. Pertama perang dingin antara negara-negara Barat dengan komunis.
Kedua, perang di kawasan ASEAN sendiri, seperti Indonesia dengan Malaysia, Singapura dengan Malaysia, dan lain-lain. Ketiga, perang di dalam negeri anggota ASEAN sendiri.
"Pendirian ASEAN saat itu di antara tujuannya agar negara di kawasan ini tidak terlibat perang, semua masalah bisa cepat dikomunikasikan," kata Evi kepada Anadolu Agency.
"Jika tujuan menghindari perang, itu sudah tercapai," kata Evi.
Namun, jika dihadapkan dengan permasalahan saat ini, seperti kudeta militer di Myanmar, konflik di Laut China Selatan, ASEAN terbilang lemah, kata Evi. Sebab, mandat ASEAN terbatas, kekuasaan sepenuhnya masih ada di masing-masing anggota, tutur Evi.
"Komitmen kerja sama antara negara anggota juga masih rendah, anggota dapat dengan mudah mengorbankan ke-ASEAN-annya di bawah kepentingan negaranya," kata Evi.
Makanya satu negara ASEAN anggota lebih pro China, misalnya, karena telah dan ingin dapat lebih banyak lagi dari China. "Akibatnya banyak isu-isu mutakhir kawasan tidak dapat diselesaikan dengan efektif," terang Evi.
Sebagai contoh, meski ASEAN sudah menyepakati pembentukan komunitas ASEAN dengan target waktu 2015, hingga kini menemui banyak hambatan.
Isu Myanmar