REPUBLIKA.CO.ID -- Sejarah kemerdekaan Indonesia mendapat momentum besar saat Amerika Serikat (AS) membom dua kota di Jepang: Nagasaki dan Hiroshima. Perjuangan bertahun-tahun menjadi negara merdeka dan berdaulat terbuka lebar sampai para pemuda kala itu memaksa pemimpin bangsa membacakan proklamasi.
Pembacaan teks proklamasi ini menjadi penting dalam sejarah bangsa. Karena peristiwa itu, Indonesia berhasil merebut kemerdekaannya sendiri. Tanpa dipapah atau dituntun oleh Jepang, apalagi Belanda.
Momen proklamasi kemerdekaan tidak akan terjadi bila pasukan sekutu tidak membombardir Jepang, tepatnya di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945. Pascaserangan itu, Jepang takluk dan akan memberikan seluruh tanah jajahannya kepada sekutu, termasuk Indonesia.
Namun, di dalam negeri, kabar takluknya Jepang tidak terpublikasi. Banyak masyarakat tidak mengetahui peristiwa tersebut. Hal ini karena Jepang melarang rakyat Indonesia untuk memutar siaran radio luar negeri atau internasional.
Tetapi, kabar kekalahan Jepang rupanya tak luput oleh sekelompok pemuda Indonesia, seperti Sutan Sjahrir dan Adam Malik. Dengan keberanian, mereka memutar siaran radio internasional dan akhirnya mengetahui peristiwa bom atom Hiroshima dan Nagasaki, yang membuat Jepang tunduk tak berdaya.
Bung Karno, yang kala itu baru selesai melakukan kunjungan ke Saigon, memang belum mengetahui secara pasti kabar kekalahan Jepang. Tetapi, desakan para pemuda untuk memproklamirkan kemerdekaan semakin nyata dan menjadi-jadi.
Bahkan, bila hal itu tidak dilakukan sesegera mungkin, para pemuda mengancam akan menculiknya. Tetapi, Sukarno tak goyah.
Bapak Bangsa itu adalah tipe manusia yang pantang dipaksa atau dituntut. Ia masih memilih jalan untuk berunding dengan Jepang untuk memerdekakan tanah airnya.
Pada 16 Agustus, tepat pukul 04.00 WIB, para pemuda, yang di antaranya digerakkan oleh Sukarni dan Wikana, menyambangi kediaman Bung Karno, lalu menawannya. Hatta juga tak lupa diculik. Keduanya dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat.
Di Rengasdengklok, para pemuda memaksa lagi Sukarno untuk segera memproklamirkan kemerdekaan. Tetapi, ia masih tetap kokoh dengan pendiriannya. Apalagi, saat itu sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) akan segera digelar.
Mengetahui Sukarno diculik, Ahmad Subarjo, salah satu tokoh bangsa, akhirnya bertolak ke Rengasdengklok. Setelah berunding dengan pemuda, Sukarno dan Hatta pun berhasil dibawa lagi ke Jakarta oleh Subarjo.
Sekembalinya ke Jakarta, mereka langsung bertandang ke kediaman Laksamana Maeda. Dia adalah tokoh Angkatan Laut Jepang yang sudi menyediakan tempatnya untuk merumuskan naskah proklamasi. Hatta, Sukarno, dan beberapa tokoh kemerdekaan lainnya menyusun teks proklamasi di sana yang ditandatangani oleh Sukarno dan Hatta.
Rencananya, teks tersebut akan digaungkan di Lapangan Ikada, yang sekarang lebih dikenal dengan Monas. Tetapi, dengan pertimbangan keamanan karena Jepang belum sepenuhnya minggat dari Indonesia, rencana itu batal dilakukan.
Akhirnya, Bung Karno memilih kediamannya di bilangan Pegangsaan Timur No 56, yang saat ini dikenal dengan Jalan Proklamasi, untuk dijadikan lokasi pembacaan teks proklamasi.
Tepat 17 Agustus 1945, sebelum dibacakannya teks proklamasi, sempat terjadi gesekan kecil antara para pemuda dan Sukarno. Saat itu, para pemuda terus mendesak agar Sukarno tidak membuang waktu dan segera memproklamirkan kemerdekaan.
Namun, saat itu Hatta belum tiba di kediamannya. Jelang pukul 10.00 WIB, Hatta pun datang. Dan akhirnya, pembacaan teks proklamasi langsung dilaksanakan.
Prosesi momen bersejarah tersebut juga berlangsung sederhana. Tak ada ingar-bingar pesta atau pidato yang menggelora. Hanya pengibaran bendera pusaka merah putih dan pembacaan teks proklamasi oleh Sukarno dengan penuh kekhidmatan.
Tetapi, kini peristiwa sederhana itu telah dikenang sebagai momen epik sejarah lahirnya Indonesia. Momen awal yang memutus cengkeraman penjajahan yang bercokol selama lebih dari 350 tahun.