Kamis 19 Aug 2021 07:03 WIB

UE: Turki Punya Peran Penting Hadapi Pengungsi Afghanistan

Situasi di Afghanistan dinilai insiden paling serius usai Rusia caplok Krimea.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell.
Foto: AP/Aris Oikonomou/Pool AFP
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell.

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL -- Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell, mengatakan,  Turki akan memainkan peran sangat penting dalam menghadapi gelombang warga Afghanistan yang melarikan diri dari negara mereka. Berbicara kepada penyiar negara Spanyol RTVE, Borrell mengatakan, Uni Eropa harus bekerja sama dengan negara-negara yang membentang antara Afghanistan dan Eropa untuk menghindari krisis kemanusiaan.

Borrell mencatat bahwa, Turki akan memiliki peran sangat penting dalam menghadapi gelombang pengungsi dari Afghanistan. Dia menyayangkan bahwa Uni Eropa tidak memiliki kebijakan bersama untuk menerima pengungsi dalam situasi yang saat ini terjadi di Afghanistan.

Baca Juga

Menurut Borrell, Uni Eropa sedang mencoba untuk membangun solusi yang mumpuni terkait kebijakan pengungsi. "Ini adalah kekhawatiran. Apa yang terjadi di Afghanistan adalah kekalahan dunia Barat. Kita harus memiliki keberanian untuk mengenalinya dan menganalisis penyebab dan konsekuensinya," kata Borrell, dilansir Middle East Monitor, Kamis (19/8).

Borrell menyebut situasi di Afghanistan sebagai peristiwa geopolitik paling serius sejak Rusia mencaplok Krimea. Dia menambahkan bahwa, situasi geopolitik tersebut akan mempengaruhi keseimbangan kekuatan di dunia.

"Situasi saat ini memaksa kami untuk memikirkan kembali bagaimana kami harus bertindak dan mempertahankan nilai-nilai yang kami anut," kata Borrell.

Borrell mengatakan, Uni Eropa perlu memulai dialog dengan Taliban agar warga Afghanistan bisa mencapai bandara Kabul dengan aman. Beberapa penerbangan militer Uni Eropa telah kembali beroperasi.

Menurut Borrell, mengangkut lebih banyak orang dengan aman ke bandara ibukota Afghanistan bukan pekerjaan yang mudah. "Kami harus menemukan solusi dengan apa yang kami miliki. Saat ini, sumber daya kami terbatas dan terkonsentrasi pada tugas mendasar untuk memulangkan staf lokal, warga Eropa, atau mereka yang sangat rentan," ujar Borrell.

Taliban mengambil alih ibu kota Kabul dan istana kepresidenan pada Ahad (15/8), setelah Presiden Ashraf Ghani meninggalkan negara itu. Banyak yang khawatir bahwa kembalinya Taliban dalam tampuk kekuasaan setelah 20 tahun, dapat mengakhiri hak-hak perempuan dan kebebasan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement