REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jurnalis perempuan asal Inggris, Yvonne Ridley, masih ingat betul soal janjinya pada Taliban untuk mempelajari Islam. Dua tahun kemudian, dia menjadi mualaf dan mengaku mendapat banyak respons, mulai dari dukungan hingga cibiran, bahkan tuduhan Yvonne yang telah dicuci otak oleh Taliban.
"Sebagian ada yang mengatakan saya mengalami Sindrom Stockholm. Saya pikir kalau orang terkena ini harus ada ikatan antara si baik dan jahat. Tapi di kasus saya tidak ada. Ikatan, bahkan komunikasi dengan Taliban pun saya hampir jarang selama masa tahanan, karena mereka tidak suka bersama perempuan (bukan mahram)," katanya dalam forum webinar bersama Aqsa Working Group, Ahad (29/8).
BACA JUGA: Bila Ada Tanda Ini di Mata, Segera Periksa Paru-Paru
Webinar ini diselenggarakan berkaitan dengan banyaknya informasi negatif yang disiarkan mayoritas media massa mengenai kepemimpinan Afghanistan yang diambil alih Taliban tanpa aksi kekerasan dan pertumpahan darah. Webinar juga menghadirkan Pembina AWG Yakhsyallah Mansur, redaktur Republika Andi Nur Aminah, jurnalis senior Yvonne Ridley, dan Presidium MER-C Sarbini Abdul Murad.
Menurut Yvonne, Taliban yang memimpin Afghanistan saat ini punya PR besar untuk mewujudkan apa yang telah mereka sampaikan dalam konferensi pers perdana mereka setelah mengambil alih pemerintahan. Dalam konferensi pers tersebut, Taliban menjanjikan akan membangun negara inklusif, menghormati martabat wanita, dan memimpin secara adil dan merata.
"Satu hal yang saya tahu tentang mereka, mereka tidak pernah berbohong. Mereka akan mengatakan hal jujur. Bahkan jika mereka telah melakukan penyerangan mereka akan mengatakannya, dan berkata tidak jika tidak melakukannya. apa pun itu. Kita tinggal tunggu saja janji mereka," ujarnya.
BACA JUGA : Saat Khabib Bertanya Fungsi Ring Girl
Selain itu, menurut Yvonne, ada juga banyak sangkaan yang dipatahkan selama masa penahanan tersebut. Selama penahanan, Yvonne diperlakukan layaknya tamu, bukan tahanan. Padahal, dirinya sempat berpikir tidak akan bertahan hidup sehari saja. Hingga akhirnya dia dibebaskan Taliban karena masalah kemanusiaan.
"Kalau ada yang bertanya siapa yang paling senang terbebas saat itu, yang paling senang adalah Taliban karena para pria itu tidak suka harus sering bertemu (berkhalwat) dengan saya perempuan," katanya sambil tertawa.
"Setelah mempelajari Islam, dua tahun kemudian saya masuk Islam, saya pikir ini adalah perjalanan wawasan akademik saya, namun ternyata ini adalah perjalanan spiritual saya," tambahnya.
BACA JUGA: Peneliti Temukan Antibodi Terkuat Lawan Virus Covid-19