REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel mengingatkan agar para pemangku kebijakan untuk membangun ekosistem pertanian agar para milenial tertarik untuk menjadi petani milenial.
"Harus ada solusi terintegrasi. Tak bisa sepotong-sepotong. Jadi harus membangun ekosistem pertanian dari hulu hingga hilir, dari soal modal dan inovasi teknologi hingga soal diversifikasi produk hilir pertanian," katanya, Selasa (31/8).
Hal itu ia sampaikan dalam webinar bertema “Jadi Petani Milenial, Kenapa Tidak?". Webinar tersebut menghadirkan Wakil Menteri Pertanian Harvick Hasnul Qolbi, Wadirut Bank BNI Adi Sulistyowati, dan Guru Besar IPB Prof Dr Ir Hermanto Siregar, MEc.
Webinar ini dilatari oleh terus berkurangnya jumlah petani berusia muda dan menuanya usia petani. Karena itu, Gobel mengajak kaum milenial untuk terjun menjadi petani.
“Tapi ajak mereka dengan perspektif masa depan sambil menjadikan dunia pertanian menarik untuk ditekuni sebagai profesi yang atraktif,” kata Gobel.
Gobel mengatakan, pertanian merupakan fondasi ekonomi nasional. Sehingga pertanian merupakan masalah strategis yang harus dijaga. Selain menyerap banyak tenaga kerja, katanya, pertanian dan para petani merupakan penjaga harkat dan martabat bangsa.
"Bahkan di tengah pandemi ini, petani tetap memberi makan kita sebagai bangsa sehingga tidak mengemis ke bangsa lain," katanya.
Akibat perubahan iklim dan terus bertambahnya penduduk dunia, kata Gobel, masa depan dunia bisa terancam oleh krisis pangan. "Jadi, Indonesia yang memiliki lahan yang luas dan subur harus menjadi lumbung pangan dunia," katanya.
Pemikiran strategis seperti itu, katanya, penting untuk dipahami milenial.
Namun demikian, Gobel mengatakan bahwa berdasarkan kunjungannya ke berbagai daerah di Indonesia, ia mendapati petani muda sangat bersemangat bertani. Hanya ia mengingatkan bahwa petani dihimpit masalah yang rutin mereka hadapi.
"Saat tanam sulit dapat pupuk dan bibit, saat panen harga jatuh," katanya. Hal-hal ini membuat petani harus menghadapi hal-hal di luar masalah bercocok tanam.
"Semua itu di luar kendali petani," katanya. Untuk itu ia mengusulkan penguatan kelembagaan petani seperti koperasi.
Selain itu, kata Gobel, petani juga menghadapi kesulitan permodalan dan keterbatasan sentuhan teknologi pertanian seperti traktor dan mesin pengering gabah. Petani Indonesia umumnya masih butuh bantuan permodalan untuk bisa bertani secara modern.
"Produktivitas komoditas juga masih rendah. Ini yang membuat pertanian tidak atraktif secara ekonomi," katanya. Karena itu, Gobel menyarankan agar selalu ada inovasi untuk meningkatkan kualitas bibit, pupuk, dan peralatan pertanian.
Gobel bercerita tentang pengalamannya uji coba demplot pertanian padi dengan pupuk non subsidi. “Memang harga pupuknya lebih mahal, tapi hasilnya meningkat dua kali lipat dan keuntungan petani juga naik berlipat. Apalagi jika gabah hasil panen langsung masuk mesin pengering maka kualitas beras menjadi premium dan potensi kehilangan menjadi zero,” katanya.
Hal yang tak kalah penting, kata Gobel, adalah diversivikasi produk hilir pertanian. “Jangan hanya menyentuh sisi hulu, tapi juga harus inovasi di hilir. Agar ada nilai tambah,” katanya. Sebagai contoh, Gobel menyebutkan diversifikasi produk yang berbahan baku dari beras.