REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Menurut Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Barat Dani Ramdhan, semua masyarakat Jabar harus bersiap dari sekarang mengantisipasi bencana yang akan ditimbulkan La Nina. Sebab, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi fenomena anomali cuaca La Nina diprediksi muncul akhir 2021.
Menurutnya, antisipasi bencana harus menggunakan paradigma baru, yakni mengurangi risiko bencana dengan mitigasi dan bukan lagi pada penanggulangan pascabencana. "Pengurangan risiko bencana itu lebih menekankan kepada upaya-upaya pencegahan terjadinya bencana. Jadi, segala upaya yang dilakukan prabencana seperti pelestarian lingkungan," ujar Dani, Rabu (15/9).
Dani mengatakan, Jabar sebagai daerah rawan bencana sudah bersiap menghadapi bencana alam dengan tetap harus menghadapi bencana nonalam wabah penyakit akibat virus Covid-19. "Kami sudah mengantisipasi dengan berbagai langkah, di antaranya penyiapan SDM terutama di kabupaten/kota, penyiapan alat, dan penyiapan mitigasi termasuk logistik. Titik beratnya ada di BPBD kabupaten/kota," paparnya.
Menurut Dani, berdasarkan peta potensi bencana, hampir semua daerah di Jabar memiliki potensi bencana yang ditandai dengan warna merah. "Terutama di daerah non-perkotaan, hampir semua warnanya merah. Di daerah-daerah merah itulah kita antisipasi dengan kesiagaan bencana," katanya.
Dia mengatakan, Jabar sedang menuju provinsi berbudaya tangguh bencana yang dituangkan ke dalam konsep Jabar Resilience Culture Province (JRCP). Dalam penyusunan cetak biru JRCP melibatkan semua stakeholders. Dani menjelaskan, lebih dari 90 persen bencana yang terjadi di bumi berakar pada kerusakan alam.
Karena itu, upaya yang dilakukan adalah melestarikan alam. "Upayanya adalah mencoba menyeimbangkan kembali antara kebutuhan manusia yang bersumber dari alam dengan pelestarian alam. Artinya manusia boleh mengeksploitasi alam untuk kebutuhannya, tetapi tetap harus dibarengi dengan pelestarian," kata Dani.
Sebagian besar bencana di Jabar, kata dia, adalah bencana hidrologi atau selalu berkaitan dengan air seperti banjir, tanah longsor, tanah bergerak, bahkan tsunami. “Bencana yang terjadi akibat air tidak lagi bisa ditahan karena pohon-pohon semakin berkurang,” katanya.
Dani mengatakan, musim kemarau saat ini disebut sebagai kemarau basah, yang artinya tetap membawa potensi hujan ringan sedang dan besar. Dalam prediksi La Nina, BMKG pun disebutkan musim cenderung basah yang artinya intensitas hujan akan naik 40-80 persen.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil telah mengonsepkan JRCP mencakup pendidikan masyarakat dan preventif bencana, pendidikan di sekolah, infrastruktur pengendali, penguatan kelembagaan pemerintah mencakup regulasi, pembangunan berkelanjutan 3P: planet – people – profit, serta anggaran.