REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pada tahun 1979, jamaah Haji bisa memilih tinggal di Hotel atau di rumah Syekh (sekarang muasasah). Pilihan ini disesuaikan dengan kondisi masing-masing jamaah haji.
"Dan bila ada di antara jamaah yang sebelumnya tinggal di rumah Syekh kemudian pindah tinggal di Hotel, maka Syekh yang bersangkutan dengan senang hati akan mengembalikan uang kita sejumlah sisa dari selama kita tingal di rumah Syekh tersebut untuk membayar sewa Hotel," tulis pengalaman ibadah haji, H Harun Keuchik Leumiek ditulis dalam buku berjudul "Menelusuri Jejak Sejarah Islam Melalui Ritual Ibadah Haji dan Umrah".
H Harun Keuchik Leumiek mengatakan, sudah tentu pengembalian uang dari Syekh harus ditambah lagi oleh jamaah bersangkutan untuk membayar sewa Hotel yang ditempati yang umumnya juga lumayan mahal, dibandingkan dengan sewa kamar yang disediakan oleh Syekh yang kita pilih. Meskipun jamaah tersebut tidak tinggal lagi di rumah Syekh yang ditempati itu, namun hubungan dalam hal-hal yang lain masih ada dengan Syekh yang telah dipilihnya.
"Di tahun-tahun akhir 1970-an hingga awal tahun 1980-an umumnya hotel-hotel di Mekkah maupun di Madinah letaknya agak berdekatan dengan Masjid," katanya.
Seperti Hotel Al Ahram dan Haap Palace Hotel di Madinah letaknya cuma 50 meter dari Masjid Nabawi. Demikian salah satu Hotel terbesar di Makkah yaitu Mecca Hotel yang bangunannya 12 lantai letaknya sangat dekat Masjidil Haram. Hotel-Hotel ini adalah Hotel bertaraf international.
"Saat saya berada di Madinah ketika itu melihat aemaah Indonesia banyak yang menginap di Hotel Bahaudin sebagai salah satu Hotel berbintang lima di Madinah," katanya.
Menurutnya, tarif Hotel Madinah agak lebih murah dibandingkan di Makkah. Sewa kamar Hotel Hotel di Madinah untuk satu malam bisa 100 Riyal. Sedangkan di Mekkah bisa 125 atau 150 Riyal.
"Tarif itu sering tidak tetap," katanya.