REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada Rabu berjanji meminta pertanggungjawaban operasi anti-narkoba jika terbukti bertindak di luar batas.
Berpidato dalam Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Duterte mengaku telah memerintahkan bawahannya melakukan peninjauan kembali perang anti-narkotika pemerintahannya.
“Saya telah menginstruksikan Departemen Kehakiman (DOJ) dan Polisi Nasional Filipina (PNP) untuk meninjau pelaksanaan operasi kami melawan obat-obatan terlarang. Mereka yang ditemukan telah bertindak di luar batas selama operasi harus dimintai pertanggungjawaban di depan hukum,” kata dia.
Duterte meyakinkan PBB bahwa tekad pemerintahnya adalah melindungi rakyat Filipina dari bahaya obat-obatan terlarang sesuai batas-batas hukum.
“Rakyat Filipina ingin hidup damai dan aman, bebas dari bahaya pelanggaran hukum. Tetapi dalam mencapai tujuan ini bukan tanpa tantangan. Saya mengatakan dengan tegas: hukum berlaku untuk semua,” kata dia.
Duterte juga mengatakan Filipina dan PBB baru-baru ini menandatangani program HAM selama tiga tahun sebagai “model untuk keterlibatan konstruktif” antara kedua pihak.
Pekan lalu, Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) menyetujui penyelidikan resmi terhadap dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Duterte dalam perang melawan narkoba.
ICC mengatakan para hakim telah menyetujui permintaan jaksa guna menyelidiki dugaan pembunuhan di luar hukum dalam kampanye anti-narkoba Duterte.
"Duterte dan pengikutnya harus bertanggung jawab atas kejahatan ini," bunyi keputusan ICC.
Kampanye anti narkoba merupakan salah satu program Duterte ketika menjabat sebagai Presiden Filipina mulai 2016 lalu.
Saat itu, Duterte meluncurkan penangkapan besar-besaran terhadap para pengedar dan pengguna narkoba dan memberi kewenangan polisi untuk membunuh setiap anggota kriminal dan pengguna obat-obatan terlarang.
Pada 2018, Duterte memutuskan penarikan Filipina dari Statuta Roma. Penarikan tersebut mulai berlaku pada 17 Maret 2019.
Sejak itu, Duterte telah berulang kali mengatakan bahwa dia tidak akan bekerja sama dalam penyelidikan ICC.
Duterte menganggap ICC tidak memiliki yurisdiksi di Filipina karena negara Asia Tenggara itu telah menarik diri keluar dari anggota mahkamah tersebut.
Namun ICC mengatakan masih memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan Duterte sejak November 2011 hingga Maret 2019, masa di mana Filipina masih menandatangani Statuta Roma.
Data terbaru otoritas Filipina yang dirilis pada Juni menunjukkan hingga akhir April 2021, polisi dan pasukan keamanan lainnya telah menewaskan sedikitnya 6.117 tersangka pengedar narkoba selama operasi.