Sabtu 25 Sep 2021 06:22 WIB

GT Perkirakan Dampak Tapering Off The Fed tak Terlalu Berat

Tapering off adalah pengurangan stimulus moneter yang dikeluarkan bank sentral.

Ilustrasi layar monitor di lantai Bursa New York, berisi pengumuman kebijakan Bank sentral AS atau The Federal Reserve (Fed).
Foto: AP/Richard Drew
Ilustrasi layar monitor di lantai Bursa New York, berisi pengumuman kebijakan Bank sentral AS atau The Federal Reserve (Fed).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Langkah tapering off yang dilakukan Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserves (The Fed) akhir 2021 nanti menjadi pembicaraan hangat. Kebijakan tersebut lantas mendapat perhatian dari banyak pihak, terutama investor yang khawatir dengan potensi dampak yang ditimbulkan terhadap pasar.

Tapering off sendiri adalah pengurangan stimulus moneter yang dikeluarkan bank sentral saat perekonomian sedang terancam dan membutuhkan banyak suntikan dana likuiditas. Hal ini dilakukan The Fed dengan mengurangi ukuran program pembelian obligasi yang dikenal sebagai pelonggaran kuantitatif (Quantitative Easing/QE).

Lembaga konsultasi keuangan, Grant Thornton, mengungkapkan, pada umumnya, indikator pengukur kapan tapering off dilaksanakan adalah ketika inflasi mengalami keseimbangan, tingkat pengangguran menuju normal, hingga pemulihan tingkat kredit atau pinjaman yang menandakan ekonomi mulai aktif kembali.

"Di Agustus 2021 kemarin, Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di kisaran 0 - 0,25% dalam rapat Federal Open Market Committee. Namun, Ketua The Fed, Jerome Powell sudah mengisyaratkan mulai mempertimbangkan untuk melakukan tapering off atau pengurangan stimulus besar–besaran di tahun ini," kata Kepala Ekonom Grant Thornton LLP Diane Swonk di Jakarta, Jumat (24/9).

Meskipun demikian, kata dia, Powell juga memperingatkan bahwa mulainya tapering pembelian aset tidak dapat diinterpretasikan sebagai sinyal segera menyusulnya kenaikan suku bunga.

Awalnya para pengamat ekonomi AS pun memperkirakan kebijakan tapering off kemungkinan akan terjadi paling cepat pada 21–22 September. Namun, kini mereka memperkirakan kebijakan ini akan mulai dilakukan pada November atau Desember 2021 karena ketidakpastian yang ditimbulkan virus Covid-19 varian Delta dan masih tingginya tingkat pengangguran di Amerika Serikat.

"Ini membuat The Fed dalam mode 'wait and see' pada rapat perumusan kebijakan mereka di September. Jangka waktu ini bisa saja lebih lama dari yang diperkirakan banyak orang, tergantung dampak varian Delta dan pencapaian vaksinasi," ungkap dia.

Ia mengatakan, tidak dapat dimungkiri, tapering off yang pernah dilakukan The Fed tahun 2013 lalu terbukti memicu taper tantrum. Itu adalah sebuah keadaan gejolak pasar keuangan ketika The Fed mengetatkan kebijakan moneternya.

Investasi asing yang saat itu mendominasi pasar modal Indonesia pun menarik uang mereka dan memutuskan untuk menaruh dana di pasar modal Amerika Serikat karena dianggap lebih menarik.

Efeknya, rupiah yang sempat berada di bawah Rp 10 ribu per dolar AS anjlok hingga ke level 12 ribu dolar AS diikuti jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke level 4.200 di akhir 2013 dari sebelumnya yang berada di level 5.200. Efek kebijakan tersebut bahkan berdampak panjang pada tren pelemahan rupiah hingga melewati 14 ribu per dolar di 2015.

"Bagaimana dengan risiko yang dihadapi Indonesia tahun ini? Dalam riset yang dipublikasikan oleh Nomura Research Institute, sebuah lembaga riset ekonomi terbesar di Jepang, Indonesia masuk ke daftar 10 negara rentan (fragile 10) terdampak bersama Brasil, Kolombia, Chili, Peru, Hongaria, Rumania, Turki, Afrika Selatan, dan Filipina jika tapering off dilakukan," kata dia.

Menurut dia, sebelumnya, Nomura juga memasukkan Indonesia ke dalam daftar lima negara berkembang rentan selama taper tantrum di 2013 bersama Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki. 

Nomura menyebutkan, penyebab rentannya 10 negara tersebut adalah kombinasi dari pertumbuhan ekonomi yang lemah, inflasi yang meningkat, dan berkurangnya kekuatan fiskal. Situasi di negaran–negara berkembang yang mana inflasi lebih tinggi daripada suku bunga juga menjadi sumber kerentanan.

"Namun, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo cukup optimistis dampak tapering off The Fed tidak akan sebesar taper tantrum pada tahun 2013 baik untuk pasar global, emerging market, bahkan Indonesia," kata dia.

"Hal tersebut berdasarkan pada beberapa poin termasuk komunikasi The Fed yang sangat terbuka terkait kerangka kerja dan kebijakan sehingga Indonesia lebih mudah memahami pola kerja The Fed ke depannya," kata dia menambahkan.

Menurut Diane, dari sisi internal BI sendiri, telah ada kebijakan yang matang dalam mengelola risiko tapering off baik kepada nilai tukar rupiah maupun pergerakan arus modal asing. Selain itu, BI juga memiliki bantalan cukup besar berupa cadangan devisa yang hingga akhir Juli 2021 berada di posisi 137,4 miliar dolar AS sehingga dianggap cukup untuk melakukan stabilisasi di tengah risiko tapering off.  

CEO/Managing Partner Grant Thornton Indonesia Johanna Gani mengatakan, tidak dapat dimungkiri dampak tapering off tahun 2013 silam berimbas cukup kuat terhadap perekonomian Indonesia. Ia mengatakan, salah satu penyebabnya adalah cukup tingginya arus dana asing yang masuk ke pasar saham Indonesia dari kebijakan Quantitative Easing (QE) setelah krisis keuangan 2008 dan Current Account Deficit (CAD) pada tahun 2013 yang mencapai lebih dari 3% dari pertumbuhan ekonomi.

“Kami mendukung pemerintah terutama BI sebagai regulator untuk mengantisipasi dampak tapering off dari jauh–jauh hari termasuk kesiapan untuk melakukan intervensi, seperti intervensi di pasar spot hingga pembelian SBN di pasar sekunder jika pihak asing melepas kepemilikan SBN mereka. Dengan adanya persiapan yang lebih matang, semoga dampak tapering off kali ini terhadap depresiasi rupiah masih berada dalam tahap yang wajar," kata Joanna.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement