REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Saham global anjlok pada Jumat (1/8/2025) setelah Amerika Serikat (AS) mengenakan tarif tinggi kepada puluhan mitra dagangnya. Sementara investor dengan cemas menunggu data ketenagakerjaan AS yang dapat menentukan arah kebijakan Bank Sentral AS The Federal Reserve untuk menurunkan suku bunga pada bulan depan.
Stoxx 600 –indeks yang mengukur pasar ekuitas Eropa secara luas- turun sekitar 1 persen pada jam pertama perdagangan. Indeks tersebut turun 1,7 persen dalam sepekan, berada di jalur penurunan mingguan terbesar sejak awal April. Lalu, baik indeks berjangka Nasdaq maupun indeks berjangka S&P 500 turun sekitar 1 persen.
Pada Kamis (31/7/2025) malam, Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang mengenakan tarif mulai dari 10—41 persen untuk impor AS dari berbagai negara. Tarif ditetapkan sebesar 25 persen untuk ekspor India yang menuju AS, 20 persen untuk Taiwan, 19 persen untuk Thailand, dan 15 persen untuk Korea Selatan.
Trump juga menaikkan bea masuk atas barang-barang Kanada dari 25 persen menjadi 35 persen untuk semua produk yang tidak tercakup dalam perjanjian perdagangan AS-Meksiko-Kanada, tetapi memberi Meksiko penangguhan tarif yang lebih tinggi selama 90 hari untuk menegosiasikan kesepakatan perdagangan yang lebih luas.
“Pengumuman tarif timbal balik pada 1 Agustus agak lebih buruk dari yang diperkirakan,” kata Wei Yao, Kepala Riset dan Kepala Ekonom Asia di Société Générale, dikutip dari Reuters.
Menurutnya, reaksi pasar tidak sevolatil penurunan aset global pada bulan April. “Kita semua semakin terbiasa dengan gagasan bahwa tarif 15—20 persen dapat dikelola dan diterima, berkat ancaman yang lebih buruk sebelumnya,” lanjutnya.
Indeks MSCI untuk saham Asia Pasifik di luar Jepang terpantau turun 1,5 persen, sehingga total kerugian minggu ini menjadi sekitar 2,7 persen. Nikkei Jepang ditutup 0,6 persen lebih rendah, saham unggulan China ditutup 0,5 persen lebih rendah, dan indeks Hang Seng Hong Kong turun lebih dari 1 persen.
Semalam, Wall Street gagal mempertahankan reli sebelumnya. Data menunjukkan inflasi meningkat pada bulan Juni, dengan tarif baru mendorong harga lebih tinggi dan memicu ekspektasi bahwa tekanan harga dapat meningkat. Sementara klaim pengangguran mingguan mengisyaratkan pasar tenaga kerja tetap stabil.
Kontrak berjangka dana Fed menyiratkan peluang penurunan suku bunga hanya 39 persen pada September, dibandingkan dengan 65 persen sebelum Federal Reserve mempertahankan suku bunga pada Rabu lalu, menurut FedWatch CME.
Sekarang, banyak hal akan bergantung pada data pekerjaan AS yang akan segera dirilis. Dan kejutan kenaikan apapun dapat menutup peluang penurunan suku bunga bulan depan. Perkiraan berfokus pada kenaikan 110 ribu pada bulan Juli, sementara tingkat pengangguran kemungkinan naik tipis menjadi 4,2 persen dari 4,1 persen.
Dolar AS mendapat dukungan dari memudarnya prospek pemangkasan suku bunga AS yang akan segera terjadi, dengan indeks dolar naik 1,5 persen minggu ini terhadap mata uang utama lainnya hingga mencapai 100. Itu merupakan kenaikan mingguan terbesar sejak akhir 2022.
Berita tarif tampaknya hanya berdampak kecil pada dolar Kanada, yang terakhir naik 0,15 persen. Yen mengalami penurunan terbesar semalam, tetapi pulih 0,2 persen menjadi 170,5 yen. Bank of Japan mempertahankan suku bunga pada Kamis dan merevisi ekspektasi inflasi jangka pendeknya, tetapi Gubernur Kazuo Ueda terdengar sedikit dovish dalam konferensi pers. Imbal hasil obligasi treasury dua tahun turun satu basis poin menjadi 3,9428 persen, sementara imbal hasil acuan obligasi 10 tahun naik tipis 2 basis poin menjadi 4,382 persen, setelah turun 2 basis poin semalam.
Di pasar komoditas, harga minyak terus turun setelah anjlok 1 persen semalam. Brent turun 24 sen menjadi 71,46 dolar AS per barel, sementara minyak mentah AS turun 27 sen menjadi 68,99 dolar AS per barel. Adapun, harga emas spot naik 0,1 persen menjadi 3.294 dolar AS per ons.