Selasa 19 Oct 2021 12:35 WIB

Muslimah Paling Dirugikan Islamofobia di Amerika Serikat

Studi menyebutkan dampak Islamofobia terhadap Muslimah Amerika Serikat

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Nashih Nashrullah
Studi menyebutkan dampak Islamofobia terhadap Muslimah Amerika Serikat. Muslim AS kampanye anti Islamofobia
Foto:

Sisemore menyematkan sikap ini pada “feminisme liberal dan imperialis”, perpanjangan dari ideologi imperialis Barat, yang memberikan narasi palsu dan berbahaya, tentang wanita Muslim yang perlu diselamatkan dari pria Muslim yang kejam dan menindas. Narasi feminis ini telah membantu politisi mengumpulkan dukungan publik untuk membenarkan invasi ke Irak dan Afghanistan.

Pada 2001 misalnya, pemerintahan Bush mengklaim perang melawan teror yang dilancarkan di Afghanistan juga merupakan perjuangan untuk hak dan martabat perempuan.

“Bahkan sebelum dideklarasikannya Perang Melawan Teror, cadar telah ditandai sebagai tirani, dan sebaliknya, membuka cadar telah menjadi simbol kebebasan dan demokrasi,” tulis peneliti Universitas San Francisco, Janine Rich, dalam sebuah makalah berjudul '’Saving’ Muslim Women: Feminism, U.S Policy and the War on Terror'.

Menurut Rich, dalam konstruksi perempuan Muslim sebagai korban pasif ini, tidak ada ruang untuk mengkaji secara kritis nalar dan konteks.

Baik Elsheikh dan Sisemore, dengan penuh semangat mereka mendeklarasikan narasi penyelamat kulit putih dan generalisasi palsu tentang peran perempuan dalam masyarakat Islam.

Di beberapa negara, wanita memang harus memakai penutup kepala atau perlu didampingi di luar rumah. Fakta lainnya, di Afghanistan perempuan dilarang bekerja, dan Taliban secara brutal menindak protes yang dilakukan perempuan.

Namun, Sisemore berpendapat media cenderung menekankan cerita-cerita ini. “Saya pikir bagian dari masalah ini adalah bahwa dunia perlu terlihat seperti Amerika Serikat,” kata dia.

Sisemore mengakui media memiliki tanggung jawab mengangkat suara kaum terpinggirkan. Tetapi penggambaran Muslim di media cenderung menyoroti perang, kekerasan, kemiskinan dan perjuangan. Dia mencatat, tidak benar untuk selalu menyajikan kasus paling ekstrem, yang kemudian menjadi seluruh kebenaran bagi banyak pembaca.

Menurutnya, negara-negara dengan populasi Muslim terbesar, seperti Indonesia, Pakistan, India dan Bangladesh, telah memilih perempuan sebagai pemimpin negara. Sementara, Amerika Serikat belum pernah memilih seorang wanita sebagai presiden. Perdana Menteri Bangladesh saat ini adalah Sheikh Hasina, seorang wanita berusia 74 tahun yang telah menjabat sejak 2009.

Elsheikh juga mengatakan, sebelum invasi Soviet dan intervensi Amerika Serikat dengan mujahidin, di Afghanistan perempuan memegang beberapa posisi penting dalam pemerintahan.

Survei tersebut lantas menjelaskan bagaimana Islamofobia menciptakan batasan yang kaku bagi masyarakat. Wanita Muslim sering menjadi target utama insiden Islamofobia, sebanyak 74,3 persen dan ini harus menjadi perhatian semua pihak.

Ironisnya, Islamofobia yang melemahkan dan melunturkan hak-hak perempuan Muslim Amerika Serikat, digunakan sebagai alat untuk mengutuk masyarakat Islam.

 

 

 

Sumber: sfexaminer

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement