Selasa 19 Oct 2021 14:35 WIB

Kementan: Serangan Ulat Grayak di Sentra Jagung Berkurang

Tahun ini pemerintah menargetkan produksi jagung mencapai 23 juta ton.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Gita Amanda
Petani memangkas dahan tanaman jagung yang siap panen, (ilustrasi). Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan telah menyiapkan langkah antisipasi terhadap potensi serangan hama ulat grayak atau (fall army worm/FAW) pada komoditas jagung.
Foto: ANTARA/Idhad Zakaria
Petani memangkas dahan tanaman jagung yang siap panen, (ilustrasi). Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan telah menyiapkan langkah antisipasi terhadap potensi serangan hama ulat grayak atau (fall army worm/FAW) pada komoditas jagung.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan telah menyiapkan langkah antisipasi terhadap potensi serangan hama ulat grayak atau (fall army worm/FAW) pada komoditas jagung. Kementan juga mengklaim, luas serangan hama pada tahun ini mulai mengalami penurunan.

Koordinator Pengendalian OPT Serealia di Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Kementan, Abriani Fensionita, menjelaskan, Kementan harus mengamankan minimal 75 persen organisme penganggu tanaman (OPT) atau hama terhadap total luas serangan. Adapun tahun ini, pemerintah menargetkan produksi jagung mencapai 23 juta ton.

Baca Juga

"FAW dipastikan dipantau untuk pengelolaan yang tepat," kata Abriani dalam webinar, Selasa (19/10).

Ia menerangkan, lahan jagung sejauh ini yang terserang hama ulat grayak sekitar 1,04 persen dari total luas tanam jagung nasional. Menurut dia, angka itu cukup menurun dibanding dengan luasan lahan yang terserang hama pada 2019 dan 2020 lalu. Adapun rata-rata luas tanam jagung nasional dalam setahun diketahui sekitar 5 juta hektare.

Serangan hama FAW pertama kali ditemukan di Sumatera Barat pada Maret 2019. Dalam kurun waktu lima bulan, FAW telah menyebar ke 13 provinsi. Di antaranya Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimatan Timur, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Selatan.

Pada Januari 2020 lalu, merupakan puncak dari serangan FAW. Abriani mengatakan, penyebaran FAW yang cepat diduga karena kemampuan reproduksi yang tinggi, daya jelajah yang tinggi, serta kondisi iklim di Indonesia yang sesuai.

Sejauh ini, Kementan melakukan langkah dengan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) terhadap ulat grayak. Kementan juga memprioritaskan teknologi ramah lingkungan melalui pendekatan pengelolaan agroekosistem dan spesifik lokasi.

Adapun penggunaan pestisida kimiawi merupakan cara terakhir pengendalian hama. "Namun digunakan dengan cara bijaksana berdasarkan hasil pengamatan," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement