REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam masalah furuiyah fiqhiyah (permasalahan fikih), terdapat beberapa ulama yang mewajibkan bermadzhab. Seperti Imam Ar-Razi, Imam Al-Haramein, dan Imam Abdurrouf Al-Minawi.
KH Ali Mustafa Yaqub dalam buku Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal menjelaskan yang dimaksudkan wajib oleh para ulama tersebut bukan wajib dalam artian kewajiban yang termaktub jelas dalam Alquran dan hadits. Atau simpelnya, wajib di sini bukan seperti wajibnya sholat, zakat, atau puasa Ramadhan.
Namun, wajibnya lebih tepat disebut kewajiban yang didasarkan pada ijtihad ulama. Dasarnya karena ulama mujtahidin berpandangan, sangat tidak mungkin setiap mukallaf mampu melakukan istinbath hukum (mengambil hukum) secara langsung dari Alquran dan hadits. Apalagi bagi mereka yang tidak bisa menguasai bahasa Arab dengan baik.
Karenanya jika terminologi wajib yang difatwakan ulama itu dipahami sama dengan wajibnya sholat, puasa Ramadhan, maupun zakat, maka pemahaman ini kurang tepat. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surah An-Nahl ayat 43, “Fa as-aluu ahla ad-dzikri in kuntum laa ta’lamun,”. Yang artinya, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,”.
Kiai Ali menjelaskan dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa orang awam diwajibkan bertanya kepada para ulama yang mempunyai kredibilitas dan kapabilitas yang tak diragukan. Ulama itu tidak lain adalah para imam madzhab yang hasil ijtihadnya sudah diakui, ditulis, dibukukan, serta disebarkan luas.
Antara lain Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ibnu Hazm Adz Dzahiri, dan Imam Ja’far Muhammad As-Shadiq. Adapun para sahabat Nabi Muhammad SAW memang tidak secara jelas bermadzhab kepada siapa.