Sabtu 30 Oct 2021 21:27 WIB

Perlawanan Sipil Menguat Setelah Kudeta di Sudan

Korban jiwa berjatuhan dalam aksi protes menjalar di jalan-jalan ibu kota.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
EBAID AHMED/REUTERS
EBAID AHMED/REUTERS

Beberapa jam sebelum militer Sudan melancarkan kudeta, utusan khusus AS untuk Tanduk Afrika sempat memperingatkan para jenderal untuk tidak mengambil langkah terhadap pemerintahan sipil, atau mengganggu transisi demokrasi.

Kunjungan Jeffrey Feltman ke Khartoum sempat menghasilkan kesepakatan antara militer dan sipil akhir pekan silam. Tapi setelah dia pulang, Senin (24/10) dini hari serdadu bersenjata lengkap mengepung kediaman pejabat sipil pemerintah, sebelum akhirnya Jenderal Abdel Fattah al-Burhan mengumumkan kudeta.

Hingga saat terakhir, para jenderal masih berusaha menekan Perdana Menteri Abdalla Hamdok untuk membubarkan kabinet dan menyusun pemerintahan baru dengan dominasi militer. Jika patuh, Hamdok akan dibiarkan mempertahankan jabatannya, klaim sejumlah diplomat dan pembantu utama perdana menteri Sudan kepada Reuters.

Hamdok pada akhirnya menolak tunduk.

Keputusan militer mengabaikan peringatan AS ikut mengubah haluan diplomasi Khartoum. Usai jatuhnya diktatur Omar al-Bashir 2019 silam, Washington banyak berinvestasi demi transformasi demokrasi di Sudan.

AS tidak hanya mencabut Sudan dari daftar negara sponsor terorisme, tetapi juga mengucurkan duit bantuan senilai miliaran Dollar.

Tapi Feltman, kata Kementerian Luar Negeri AS, tidak mendapat peringatan dari militer perihal rencana kudeta. Dalam pertemuan terakhir, dia "menekan keras Burhan untuk tidak melakukan tindakan apapun terhadap pemimpin sipil,” kata seorang diplomat AS.

Burhan, klaim sang diplomat, juga mendapat tekanan dari barisan sendiri, terutama dari korps pasukan khusus, untuk segera mengambil alih kekuasaan di Sudan.

'Lampu hijau' dari Moskow

Kudeta mendorong pemerintah AS membekukan kucuran bantuan ekonomi senilai USD 700 juta untuk pemerintahan transis Sudan. Namun begitu, para jenderal di Khartoum tetap bergeming.

Kepada Reuters, lingkaran diplomat AS sejak lama memantau upaya militer, terutama oleh komandan pasukan khusus, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, untuk memperkuat hubungan dengan Rusia dan negara-negara Arab di Teluk Persia.

Jelang kudeta, militer sempat menerima "lampu hijau” dari Moskow untuk mendapat jaminan perlindungan dari sanksi Dewan Keamanan PBB, kata dua sumber di pemerintahan transisi Sudan.

Kremlin merespon penggulingan kekuasaan di Khartoum dengan mengajak semua pihak menahan diri dan mencari jalan keluar tanpa pertumpahan darah. Dalam keterangan persnya itu, Rusia tidak mengecam aksi kudeta.

Moskow saat ini pun sudah mulai menekan DK PBB untuk hanya menyampaikan kekhawatiran, bukan kecaman, terhadap kudeta di Sudan, klaim dua diplomat yang terlibat menyusun naskah resolusi kepada Reuters.

"Saya kira situasinya memalukan buat negara barat, bahwa militer Sudan pada akhirnya mengabaikan semua masukan dari mereka,”kata Jonas Horner dari International Crisis Group, sebuah lembaga penelitian konflik.

Perlawanan berdarah

Keputusan Burhan menumbangkan pemerintahan sipil memicu aksi demonstrasi kelompok pro-demokrasi. Pada Jumat (29/10), gelombang protes menentang kudeta dilaporkan semakin menjalar di jalan-jalan ibu kota dan sejumlah kota lain.

Sejauh ini setidaknya sembilan demonstran dikabarkan tewas akibat bentrokan dengan aparat keamanan. Presiden AS, Joe Biden, mendesak militer Sudan untuk mengabulkan demonstrasi damai.

Perlawanan tidak hanya bereskalasi di akar rumput. Militer juga menghadapi oposisi dari hampir semua elemen sipil di pemerintahan, mulai dari aparatur negara hingga diplomat, dan berbagai organisasi sipil.

Rabu (27/10), kantor gubernur Khartoum mengeluarkan pernyataan yang "mengecam kudeta militer oleh Jendral Burhan,” dan bersumpah "tidak akan kembali” ke masa lalu otoriter, dan mengajak masyarakat mendukung gerakan "pembangkangan sipil.”

Pemerintah kota juga berjanji menyediakan "bahan pokok” dan obat-obatan untuk para demonstran pro-demokrasi.

Pada Kamis (28/10), Kementerian Informasi Sudan menulis "perlawanan” terhadap militer harus terus berlanjut "sampai berakhirnya kudeta dan kembalinya konstitusi resmi.”

rzn/vlz (rtr, afp, ap)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement