Ahad 31 Oct 2021 18:11 WIB

Respons IDI Soal Alasan Tes PCR Sebelum Bepergian

Seringkali orang terinfeksi Covid-19 tak menunjukkan gejala dan tanpa sadar menulari

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Gita Amanda
Tenaga kesehatan melakukan tes Covid-19 kepada warga di Genomik Solidaritas Indonesia Laboratorium, Jakarta,(ilustrasi).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Tenaga kesehatan melakukan tes Covid-19 kepada warga di Genomik Solidaritas Indonesia Laboratorium, Jakarta,(ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski kasus Covid-19 di Indonesia tengah melandai, penularan masih terjadi. Bahkan, seringkali orang yang terinfeksi Covid-19 tidak menunjukkan gejala yaitu orang tanpa gejala (OTG) yang bisa menularkan virus tanpa disadari.

"Orang yang terinfeksi sebagian besar terlihat sehat, merasa sehat, namun bisa menularkan virus (Covid-19)," ujar Ketua Satuan Tugas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban saat konferensi virtual tanya Jawab IDI bertema "Kenapa Harus Tes PCR Sebelum Bepergian?", akhir pekan lalu.

Baca Juga

Ia menyontohkan studi kasus satu orang warga negara Inggris yang tengah berada di Singapura kemudian kembali ke rumahnya namun melewati negara-negara lain di Eropa kemudian baru tibai di rumahnya. Ternyata, dia melanjutkan, orang ini bisa menularkan virus hingga ke 10 orang.

"Makanya virus ini disebut super spreader. Bahkan, ada kasus super spreader yang bisa menularkan sampai 34 orang," ujarnya.

Persoalan semakin ditambah dengan adanya mutasi virus delta membuat Covid-19 lebih menular dibandingkan varian lainnya. Ia menjelaskan, virus ini tidak bisa hidup kalau tak menumpang di sel paru-paru manusia. Kemudian begitu virus masuk ke paru-paru, khususnya Delta bisa sangat cepat menular dibandingkan varian yang lain.

Padahal, dia melanjutkan, varian ini mendominasi 90 persen dari total penularan Covid-19. Zubairi menjelaskan, ada hal-hal yang menentukan seseorang yang terinfeksi virus kemudian harus dirawat di rumah sakit (RS). Pertama, orang yang terinfeksi Covid-19 yang tidak merasakan apa-apa namun saat menjalani rontgen ternyata terdapat pneumonia di paru-parunya.

"Maka pasien wajib dirawat di rumah sakit karena pneumonia juga bisa tanpa gejala. Paru-parunya bisa terganggu," ujarnya.

Kemudian jika pasien Covid-19 memilih isoman di rumah, ia meminta harus rutin mengecek saturasi oksigennya. Kemudian, dia melanjutkan, saat diperiksa saturasi oksigennya ternyata rendah kurang dari 90 persen maka wajib dirawat karena bisa terjadi happy hypoxia yaitu kondisi saturasi oksigennya turun drastis namun tubuh masih belum merasakan apa-apa.

"Karena pasien Covid-19 bisa tiba-tiba mendadak kolaps atau meninggal dunia," katanya.

Ia menyontohkan selama periode Juli-Agustus 2021 lalu, saat kasus Covid-19 sedang banyak, ternyata pasien isoman yang meninggal dunia berjumlah ribuan. Penyebabnya selain karena rumah sakit penuh, dia melanjutkan, pasien Covid-19 tanpa gejala ini tidak cek saturasi oksigennya. Ia juga tidak periksa rontgen dan kemudian meninggal dunia.

"Seringkali meski positif Covid-19 kemudian isolasi mandiri di rumah. Kemudian tahu dari laboratorium namun tidak konsultasi dengan dokter," ujarnya.

Jadi, dia melanjutkan, banyak pasien Covid-19 hanya menilai diri sendiri saja. Kemudian merasa masih sehat, bisa jalan, tidak merasakan masalah jadi memilih isoman di rumah saja. Padahal, dia melanjutkan, pasien Covid-19 harusnya menjalani rontgen dan rutin periksa saturasi oksigen menggunakan oximeter.

"Kemudian yang tak kalah penting adalah konsultasikan dengan dokter," ujarnya.

Baca juga : Pemkot Tangerang Izinkan Penambahan 180 SD Gelar PTM

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement