Kamis 04 Nov 2021 09:00 WIB

Pembangunan Jokowi tak Boleh Berhenti Atas Nama Deforestasi

Menteri LHK: menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation melawan UUD 1945.

Rep: Antara/Erik PP/ Red: Erik Purnama Putra
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar.
Foto: ANTARA /Aprillio Akbar
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan, pembangunan pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus terus berlangsung, meski ada yang mengaitkannya dengan kerusakan hutan.

"Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi," kata Siti lewat akun Twitter, @SitiNurbayaLHK dikutip Republika di Jakarta, Kamis (4/11). Status tersebut sontak menuai kecaman warganet.

Pendapat itu disampaikan Siti di acara yang dihelat Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Universitas Glasgow, Skotlandia, Selasa (2/11). Siti bersama Jokowi hadir di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP26, yang membahas perubahan iklim.

Menurut Siti, pembangunan tidak bisa berhenti jika dikaitkan dengan isu kerusakan hutan. Hal itu karena pembangunan merupakan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Baca: Indonesia, Brasil, Kongo Janji Akhiri Pembalakan Hutan

"Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk values and goals establishment, membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi," ujar politikus Partai Nasdem tersebut.

Siti menjelaskan, kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dikelola untuk pemanfaatannya menurut kaidah-kaidah berkelanjutan, di samping tentu saja harus berkeadilan. "Kita juga menolak penggunaan terminologi deforestasi yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia," katanya.

Dia mencontohkan negara-negara Eropa, di mana sebatang pohon ditebang di belakang rumah. Siti menyebut, hal itu mungkin masuk dalam kategori dan dinilai sebagai deforestasi. "Ini tentu beda dengan Indonesia. Memaksa Indonesia untuk zero deforestation di 2030 jelas tidak tepat dan tidak adil. Karena setiap negara memiliki masalah-masalah kunci sendiri dan dinaungi Undang-Undang Dasar untuk melindungi rakyatnya," kata Siti.

Misalnya di Pulau Kalimantan dan Sumatra, Siti menambahkan, banyak jalan yang terputus karena harus melewati kawasan hutan. Sementara ada lebih dari 34 ribu desa berada di kawasan hutan dan sekitarnya.

Baca: Harimau Turun ke Kebun Warga, Sinyal Hutan dalam Bahaya

"Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya," kata Siti.

Sementara, Presiden Jokowi menyampaikan tiga pandangan dalam pengelolaan hutan di Indonesia sebagai aksi mengatasi perubahan iklim. "Pertama, perhatian kita harus mencakup seluruh jenis ekosistem hutan, tidak hanya hutan tropis, tapi juga hutan iklim sedang dan boreal," kata Jokowi saat menjadi pembicara 'World Leaders Summit on Forest and Land Use' di Scotish Event Campus, Glasgow, pada Selasa.

Kebakaran hutan, menurut Jokowi, berdampak pada emisi gas rumah kaca dan keanekaragaman hayati apa pun jenis ekosistemnya. Kebakaran dahsyat di benua Amerika, Eropa, dan Australia juga menjadi kekhawatiran bersama. "Indonesia siap berbagi pengalaman tentang keberhasilannya mengatasi kebakaran hutan dan lahan dengan negara-negara itu."

Menurut Jokowi, terkait pengelolaan hutan, Indonesia juga telah mengubah paradigmanya dari manajemen produk hutan menjadi manajemen lanskap hutan. Hal tersebut menjadikan pengelolaan area hutan menjadi lebih menyeluruh.

Selain itu, dia melanjutkan, Indonesia juga melakukan restorasi ekosistem mangrove yang berperan dalam menyerap dan menyimpan karbon. Indonesia memiliki lebih 20 persen total area mangrove dunia, terbesar di dunia. "Indonesia juga akan mendirikan pusat mangrove dunia di Indonesia," ujar Presiden.

Kedua, Jokowi menilai, mekanisme insentif harus diberikan bagi pengelolaan hutan secara berkelanjutan. "Sertifikasi dan standar produksi harus disertai market incentives sehingga berfungsi mendorong pengelolaan hutan yang berkelanjutan, bukan menjadi hambatan perdagangan," ujarnya.

Jokowi juga menegaskan, sertifikasi, metodologi, dan standar tersebut harus didasarkan pada parameter yang diakui secara multilateral, tidak dipaksakan secara unilateral dan berubah-ubah. Sertifikasi juga harus berkeadilan sehingga berdampak pada kesejahteraan, khususnya petani kecil.

"Sertifikasi juga harus pertimbangkan semua aspek Sustainable Development Goals (SDGs) sehingga pengelolaan hutan sejalan dengan pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat," kata Jokowi.

Ketiga, ia memandang perlunya mobilisasi dukungan pendanaan dan teknologi bagi negara berkembang. Menurut Jokowi, komitmen harus dilakukan melalui aksi nyata, bukan retorika. Dia menambahkan, memberi bantuan bukan berarti dapat mendikte, apalagi melanggar hak kedaulatan suatu negara atas wilayahnya.

Baca juga : Abdullah Hammoud Jadi Wali Kota Muslim Pertama Deaborn AS

Dukungan harus country-driven, didasarkan pada kebutuhan riil negara berkembang pemilik hutan. Bagi Indonesia, kata dia, dengan atau tanpa dukungan, pasti akan terus melangkah maju.

"Kami kembangkan sumber-sumber pendanaan inovatif, di antaranya pendirian Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup, penerbitan green bond dan green sukuk, serta mengembangkan mekanisme nilai ekonomi karbon sebagai insentif bagi pihak swasta dalam mencapai penurunan emisi," kata Jokowi menjelaskan.

Turut mendampingi Jokowi saat menghadiri acara tersebut yaitu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement