Sabtu 06 Nov 2021 14:02 WIB

Alih Fungsi Hutan Lindung Diduga Penyebab Banjir Kota Batu

Profauna: 90 persen hutan lindung sudah menjadi lahan pertanian

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Lembaga Protection of Forest & Fauna (ProFauna) Indonesia menemukan alih fungsi lahan di kawasan hutan lindung, Kota Batu, Jawa Timur (Jatim). Dok. ProFauna Indonesia
Foto: Wilda Fizriyani
Lembaga Protection of Forest & Fauna (ProFauna) Indonesia menemukan alih fungsi lahan di kawasan hutan lindung, Kota Batu, Jawa Timur (Jatim). Dok. ProFauna Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, BATU -- Banjir bandang yang menerjang sejumlah wilayah Kota Batu pada Kamis (4/11) sore diduga diakibatkan adanya alih fungsi lahan di hutan lindung. Dugaan ini berdasarkan temuan lembaga Protection of Forest & Fauna (ProFauna) Indonesia.

Ketua ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid mengatakan, dia bersama tim ProFauna telah menyusuri alur terjadinya banjir termasuk mencari titik-titik longsor. Kegiatan ini berlangsung hingga melewati Pusung Lading yang berada di lereng Gunung Arjuno. "Jadi kesimpulan sementara dari ProFauna memang ada beberapa faktor penyebab kenapa terjadi banjir bandang," kata Rosek kepada Republika, Sabtu (6/11).

Baca Juga

Setidaknya ada dua faktor penyebab di samping karena curah hujan tinggi. Pertama, banjir bandang diduga diakibatkan lahan bekas kebakaran hutan di lereng Arjuno. Kebakaran yang terjadi pada 2019 ini menyebabkan banyak pohon mati dan tumbang sehingga membentuk bendungan alami. Kondisi ini membuat proses aliran air terhambat lalu jebol saat tidak bisa menahan luapan air. 

Kedua, banjir bandang diakibatkan oleh alih fungsi atau penanaman sayur di hutan lindung wilayah lereng Gunung Arjuno. Hal tersebut diungkapkan karena ProFauna sempat menyusuri sungai di Pusung Lading dimana ini termasuk sungai mati. Artinya, sungai ini biasanya tidak pernah terisi air kecuali beberapa waktu lalu.

Ketika ProFauna menyusuri sungai, tim menemukan beberapa titik longsor. "Kemudian kita cek ke atasnya. Tim saya naik ke atas. Ternyata di atas ada bukaan tanaman sayur," ucap Rosek.

Rosek tidak mengetahui pasti luasan hutan lindung yang dimanfaatkan menjadi lahan pertanian. Namun dia memperkirakan 90 persen luas hutan lindung sudah menjadi lahan pertanian. Sayur jenis kubis dan wortel termasuk tanaman yang paling sering ditanam di lahan-lahan tersebut.

Untuk diketahui, sistem perakaran sayur tidak memiliki kemampuan mengikat air dengan baik. Ketika ada hujan, air akan langsung lewat permukaan tanah sambil membawa butiran tanah. Air tidak meresap ke dalam tanah dengan baik sehingga volumenya menjadi besar. 

Jika lahan diisi pepohonan, air hujan bisa terserap dengan baik ke dalam tanah. Pasalnya, pohon dikenal memiliki sistem perakaran bagus dan kuat untuk meresap air hujan. Hal ini berbeda jauh dengan sayur karena membuat air berkumpul di permukaan dan ceruk-ceruk kayu bekas kebakaran sehingga terjadi banjir bandang.

"Ini yang perspektif yang harus dibangun oleh semua pihak. Jadi saya kira, saya tidak sepakat kalau menyalahkan sekadar ini curah hujan. Kita itu negara yang ada dua musim, hujan dan kemarau. Tiap tahun pasti ada hujan," ungkapnya.

Menurut Rosek, pemerintah dan masyarakat sudah seharusnya melakukan mitigasi dengan pendekatan konservasi hutan. Sebab, lereng Arjuno pada kenyataannya sudah dipenuhi lahan sayuran mulai dari Sumberbrantas, Cangar sampai kebun teh di Lawang. Pemerintah harus melihat secara langsung kondisi tersebut di lapangan.

Jika pemerintah dan masyarakat tidak pernah naik ke lereng Arjuno, maka pemandangan bukaan lahan di hutan lindung tak akan diketahui. Faktanya, alih fungsi lahan di hutan lindung sudah sangat besar. Kondisi ini tentu akan membahayakan masyarakat mengingat air secara hukum akan mengalir dari atas ke bawah. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement