Oleh : Teguh Firmansyah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Hubungan antara ASEAN dan Myanmar tak lagi harmonis. Permintaan ASEAN agar junta berkomitmen menjalankan kesepakatan tidak terlaksana baik.
Kekerasan di Myanmar terus terjadi. Alih-alih gencatan senjata, militer Myanmar terus menggempur daerah yang dianggap sebagai basis pemberontak. Salah satunya adalah di Negara Bagian Chin. Lebih dari 160 rumah dan dua gereja di Thantlang dibakar habis pada 29 Otober lalu.
Tak hanya itu, utusan khusus dan delegasi ASEAN juga tidak dapat bertemu dengan pihak terlibat konflik di Myanmar. Junta melarang utusan ASEAN bertemu dengan Aung San Suu Kyi yang telah dikudeta pada 1 Februari 2021 dan kini ditahan militer. Padahal hal tersebut adalah bagian dari lima kesepakatan yang disetujui oleh pemimpin ASEAN dan junta Myanmar di Jakarta pada April lalu.
Karena kurangnya komitmen tersebut, ASEAN memutuskan untuk tidak mengundang Myanmar dalam KTT ASEAN yang digelar pada 26 Oktober 2021. ASEAN hanya mengundang nonpartisipan politik di Myanmar, tapi tidak ada yang hadir.
Langkah yang diambil ASEAN kali ini boleh dibilang cukup mengagetkan dan berani. Pasalnya, selama ini ASEAN terbilang cukup saklek dalam memegang prinsip tidak mengintervensi urusan internal negara lain seperti halnya diatur dalam Piagam ASEAN.
Namun, kali ini ASEAN menekan lebih dalam dengan memanfaatkan nilai lain yang juga diatur dalam Piagam ASEAN. Dalam Pembukaan Piagam ASEAN disebut secara jelas agar negara-negara ASEAN mematuhi prinsip-prinsip demokrasi, aturan hukum dan tata kepemerintahan yang baik, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.
Persoalannya adalah apakah dengan pengucilan itu konflik di Myanmar akan usai?
Junta militer memiliki sejarah cukup panjang di Myamar. Kudeta yang dilakukan militer pada 1 Februari 2021 bukanlah pertama. Pada 1990, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Myanmar berhasil memenangi pemilihan, tapi dipatahkan oleh junta. Jauh sebelum itu, militer Myanmar berhasil menancapkan kukunya ketika kudeta militer pada 1962.
Beragam sanksi dan pengucilan telah dijatuhkan terhadap Myanmar, tapi terbukti tidak berhasil. Mereka tetap bisa berkuasa dan mengontrol kuat pemerintahan. Bukannya menyerah, junta justru semakin mencekeram. Operasi militer terus berlanjut menyasar daerah yang dianggap sebagai basis pemberontak.
Baca juga : Pinjam Dana untuk Formula E, Ini Kata Pemprov DKI
Hal yang dikhawatirkan kini adalah semakin banyaknya korban berjatuhan. Perang sipil ditakutkan kian meluas dan memburuk keadaan, terutamanya bagi warga sipil. Badan Pangan Dunia mencatat setidaknya 3,4 juta orang di wilayah urban akan menghadapi kelaparan jika krisis politik di Myanmar terus berlanjut. Di sisi lain, ekonomi Myanmar juga sedang terpukul akibat badai pandemi Covid-19.
Ada dua pilihan agar konflik Myanmar ini usai. Pertama yakni junta Myanmar benar-benar tertekan baik secara ekonomi, politis, dukungan masyarakat, serta internasional sehingga harus menyerahkan kekuasaan. Jika opsi ini diambil, artinya junta militer sudah sangat kewalahan dan sangat mungkin China sudah tidak lagi mendukung. Bisa juga junta terdesak oleh pemberontak bersenjata yang kini meluas pascakudeta.
Opsi kedua yang paling memungkingkan adalah junta Myanmar kembali membuka dialog dengan berbagai negara tak terkecuali dengan ASEAN. Sebaliknya, ASEAN bisa menawarkan opsi-opsi baru yang juga menguntungkan bagi rakyat Myanmar. Karena the winner takes all sepertinya akan sulit dilaksanakan dalam diplomasi.
Seperi disampaikan pakar politik Asia Tenggara, Anna Rosario Malindog-Uy, yang paling pragmatis sebenarnya adalah saling berbagi kekuasaan antara sipil dan militer. Karena berharap agar Myanmar mengikuti Indonesia dalam peralihan kekuasaan seperti sulit.
Tatmadaw masih begitu kuat dan sepertinya enggan melepaskan seluruh kekuasaannya ke sipil. Begitu pun dengan NLD harus rela berbagi kekuasaan dengan militer. Kemudian, agar kudeta ini tidak kembali terulang, dibutuhkan kepercayaan kedua belah pihak. Ada aturan yang benar-benar ditaati bersama. Jika ada sengketa, selesaikan melalui jalur hukum. Militer tak boleh lebih tinggi dari hukum. Demikian halnya juga kalangan sipil.
Baca juga : PBB: Tiga Juta Orang Butuh Bantuan Darurat di Myanmar