REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Junta militer Myanmar telah mendakwa seorang jurnalis Amerika Serikat (AS), Danny Fenster (37 tahun), dengan pasal hasutan dan terorisme. Dia terancam hukuman penjara seumur hidup.
Fenster ditangkap pada Mei lalu. Penangkapan dilakukan saat jurnalis yang bekerja untuk media Frontier Myanmar itu hendak pulang ke AS untuk menemui keluarganya. Sebelumnya Fenster sudah diadili karena diduga mendorong perbedaan pendapat terhadap militer dan melanggar hukum imigrasi.
Pengacara Fenster, Than Zaw Aung, mengungkapkan, kliennya sangat kecewa atas dakwaan baru yang dijeratkan padanya. Di bawah undang-undang anti-teror dan penghasutan, Fenster terancam hukuman penjara seumur hidup.
Fenster dijadwalkan menjalani persidangan pada 16 November mendatang. Saat ini dia ditahan di Penjara Insein Yangon. “Dia (Fenster) menjadi sangat kurus,” kata Than Zaw Aung saat menggambarkan kondisi kliennya, Rabu (10/11).
Dakwaan baru terhadap Fenster diumumkan beberapa hari setelah mantan diplomat AS dan perunding sandera Bill Richardson bertemu pemimpin junta Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing di Naypyidaw. Richardson sebelumnya telah merundingkan pembebasan tahanan dan prajurit AS di Korea Utara, Kuba, Irak serta Sudan. Baru-baru ini dia pun berusaha membebaskan narapidana yang berafiliasi dengan AS di Venezuela.
Richardson berharap dia telah menengahi kesepakatan untuk dimulainya kembali kunjungan Komite Internasional Palang Merah ke penjara. Richardson menolak memberikan keterangan lebih terperinci. Ia menyebut Departemen Luar Negeri AS telah meminta untuk tak mengangkat kasus Fenster selama kunjungannya.
Militer Myanmar melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi pada Februari lalu. Setelah peristiwa itu, gelombang demonstrasi menentang dan menolak kudeta melanda negara tersebut. Lebih dari 1.200 orang dilaporkan telah tewas akibat aksi represif dan brutal pasukan keamanan Myanmar.
Pada saat bersamaan, gerak pers di Myanmar juga terjepit. Sebab junta militer Myanmar berusaha mengontrol arus informasi, membatasi akses internet, dan mencabut izin media lokal. Menurut Reporting ASEAN, lebih dari 100 jurnalis telah ditangkap sejak kudeta. Sebanyak 31 di antaranya masih ditahan.