REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian menolak pemberian sertifikasi atau labelisasi Bisphenol-A (BPA) Free pada kemasan pangan. Hal ini dikarenakan sertifikasi BPA justru menambah cost yang mengurangi daya saing Indonesia.
Direktur Industri Minuman Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintegar) Kementerian Perindustrian Edy Sutopo mengatakan, saat ini yang diperlukan itu yakni edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait cara handling dan penggunaan kemasan yang menggunakan bahan penolong BPA secara benar. Jadi, bukan malah memunculkan masalah baru yang merusak industri pangan.
“Saat ini sertifikasi BPA belum diperlukan. Sertifikasi BPA hanya akan menambah cost dan mengurangi daya saing Indonesia,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (11/11).
Adapun batas aman BPA dalam kemasan makanan ini sudah diatur dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Di dalam aturan ini semua persyaratan migrasi zat kontak pangan yang diizinkan digunakan sebagai kemasan pangan, tidak hanya BPA saja. Tapi juga zat kontak pangan lainnya termasuk etilen glikol dan tereftalat yang ada pada plastik pangan berbahan PET.
Dalam peraturan BPOM yang dikeluarkan pada tahun 2019 itu juga dijelaskan bahwa tidak ada kemasan pangan yang free dari zat kontak pangan. Tapi, di sana diatur mengenai batas migrasi maksimum dari zat kontak itu, sehingga aman digunakan sebagai kemasan pangan.