REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Perdana Menteri Israel Naftali Bennett tak akan bertemu dengan utusan khusus Amerika Serikat (AS) untuk Iran Robert Malley. Hal itu sebagai bentuk protes terhadap kemungkinan kembalinya AS ke kesepakatan nuklir Iran. Demikian dilaporkan media Israel pada Senin (15/11).
Harian Israel Yedioth Ahronoth mengatakan, Bennett menentang upaya AS menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 dengan Iran. Otoritas Israel berulangkali menegaskan bahwa program nuklir Iran adalah ancaman.
Sementara itu, serangkaian kunjungan regional Malley juga akan mencakup negara-negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain.
"Utusan khusus AS itu akan mengoordinasikan pendekatan pada berbagai masalah dengan Iran, termasuk kegiatannya yang ilegal di kawasan itu dan negosiasi kesepakatan nuklir," kata Departemen Luar Negeri AS dalam sebuah pernyataan.
Malley dijadwalkan bertemu dengan Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz pada Senin dan mungkin dia juga bertemu dengan Menteri Luar Negeri Yair Lapid, serta direktur Mossad David Barnea dan Penasihat Keamanan Nasional Eyal Haluta.
Harian itu juga melaporkan Tel Aviv khawatir bahwa Teheran dapat meyakinkan pemerintah AS untuk menghapus semua sanksi ekonomi terhadap Iran dengan imbalan menghentikan kegiatan pengayaan uranium tanpa membahas topik lain, termasuk program rudal balistik Iran dan kehadiran Iran di Suriah.
Perjanjian nuklir ditandatangani pada 2015 oleh Iran, AS, China, Rusia, Prancis, Inggris, Jerman, dan Uni Eropa. Berdasarkan kesepakatan itu, Teheran telah berkomitmen untuk membatasi aktivitas nuklirnya buat kegiatan sipil dan sebagai imbalannya, kekuatan dunia setuju untuk mencabut sanksi ekonomi mereka terhadap Iran.
Namun, AS di bawah mantan Presiden Donald Trump, secara sepihak menarik diri dari perjanjian tersebut pada 2018 dan menerapkan kembali sanksi terhadap Iran, mendorong Teheran untuk berhenti mematuhi kesepakatan nuklir.