REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program bahan bakar biodiesel 30 persen diperkirakan membantu negara menghemat devisa hingga Rp 56 triliun tahun ini. Kementerian Koordinator Perekonomian mendorong agar riset produk sawit untuk bahan bakar terus ditingkatkan.
"Industri sawit ini selain mendorong kemandirian energi, mengurangi emisi gas, juga mengurangi impor solar senilai Rp 38 triliun rupiah tahun 2020. Tahun ini dengan adanya program B30 diperkirakan terjadi penghematan devisa sebesar 56 triliun rupiah,” kata Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam siaran pers, Rabu (17/11).
Lebih lanjut, ia menuturkan, program mandatori biodiesel B30 juga mendorong stabilitas harga sawit dan membuat sawit masuk dalam supercycle dengan harga sebesar 1,283 dolar AS per ton. Selain itu, sawit juga memberikan nilai tukar kepada petani dengan harga tandan buah segar (TBS) yang juga relatif paling tinggi selama periode ini, yaitu antara Rp 2.800 sampai Rp 3.000 rupiah per TBS.
Dirinya mengharapkan adanya proses perbaikan yang terus-menerus terutama dari hulu mulai dari perbaikan benih/varietas, pupuk, alat mesin, kultur budidaya, cara-cara teknik panen, sampai dengan hilir berupa pengembangan produk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, memperluas pasar, serta memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
Terkait dengan situasi kebun sawit, saat ini kepemilikan masyarakat masih sebesar 41 persen. Oleh karena itu smallholders perlu diberikan dukungan terutama menghadapi isu perubahan iklim dan juga isu terkait dengan hasil kebun rakyat yang selama ini lebih rendah daripada kebun yang dimiliki oleh swasta maupun BUMN.
Diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masuk pada zona positif di kuartal II dan III tahun 2021 tidak terlepas dari peran kelapa sawit yang berkontribusi mencapai 15,6 persen dari total ekspor non-migas dan menyumbang sekitar 3,5 persen terhadap PDB nasional.
Untuk itu, industri yang mempekerjakan 16,2 juta pekerja tersebut perlu terus didukung dengan penelitian dan pengembangan agar memiliki daya saing sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Peran riset dan pengembangan serta pemanfaatan teknologi menjadi sangat penting dalam meningkatkan bargaining position negara.
Ia mengatakan, riset dari industri sawit diharapkan menitikberatkan pada tiga pilar utama. Pertama, aspek penguatan, aspek pengembangan, dan aspek peningkatan pemberdayaan perkebunan dan industri sawit yang bersinergi baik dari hulu maupun hilir.
Kedua, yang terkait dengan konsolidasi data, produktivitas, peningkatan kapasitas maupun teknologi di pabrik kelapa sawit, dan tentunya pemberdayaan petani sawit. Ketiga, pengembangan domestik market dengan penggunaan bahan bakar nabati, dan riset di bidang pengembangan biodisel 100 dan avtur.
“Riset ini harus terus dilakukan agar produk sawit bisa terus memberikan nilai tambah, dan hilirnya juga perlu ditingkatkan," ujarnya.
Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memproyeksikan akan terjadi penurunan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga akhir tahun 2021. Penurunan ekspor tersebut seiring produksi minyak sawit domestik yang cenderung stagnan.
"Ekspor sangat tergantung produksi karena pemenuhan dalam negeri menjadi prioritas," kata Ketua Umum Gapki, Joko Supriyono dalam konferensi pers jelang Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2021, Rabu (17/11).
Diketahui total produksi CPO nasional periode Januari-September 2021 mencapai 34,85 juta ton atau naik tipis dari periode sama 2020 sebesar 34,41 juta ton. Adapun ekspor khusus CPO selama Januari-September 2021 sebesar 2,23 juta ton. Nilai tersebut turun dari periode sama tahun lalu yang tembus 5,35 juta ton.