Kamis 18 Nov 2021 06:34 WIB

Presiden Israel-China Lakukan Percakapan Telepon Perdana

Israel dan China akan melakukan kerja sama lebih intensif

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nashih Nashrullah
Israel dan China akan melakukan kerjasama lebih intensif. Ilustrasi Israel
Foto: Republika/Dadang Kurnia
Israel dan China akan melakukan kerjasama lebih intensif. Ilustrasi Israel

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Presiden Israel Isaac Herzog melakukan percakapan via telepon dengan Presiden China Xi Jinping pada Rabu (17/11). Mereka membahas beberapa isu, termasuk perihal program nuklir Iran. 

Menurut kantor Isaac Herzog, itu merupakan panggilan telepon perdana antara presiden Israel dan China. Pada kesempatan itu, selain perihal hubungan bilateral, Herzog turut menyinggung program nuklir Iran. 

Baca Juga

“(Presiden Herzog) menekankan perlunya untuk mencegah Iran memperoleh kemampuan senjata nuklir,” kata kantor kepresidenan Israel dalam sebuah pernyataan, dikutip Al Arabiya. Herzog pun menyebut Iran telah merusak stabilitas regional di Timur Tengah. 

China dan Israel menjalin hubungan diplomatik pada 1992 atau 44 tahun setelah negara Israel berdiri. Kantor berita negara China, Xinhua, melaporkan, percakapan via telepon antara Xi dan Herzog dilakukan menjelang peringatan 30 tahun hubungan diplomatik kedua negara yang jatuh pada Januari tahun depan. 

Xinhua menyebut, Beijing akan memanfaatkan momen itu untuk mempromosikan “kemitraan komprehensif” dengan Israel. 

Percakapan antara Herzog dan Xi terjadi menjelang dimulainya kembali pembicaraan pemulihan kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) antara Iran dan Amerika Serikat (AS) di Wina, Austria, pada 29 November mendatang. 

JCPOA disepakati pada 2015 antara Iran dan negara kekuatan dunia, yakni Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Jerman, Rusia, serta China. Kesepakatan itu mengatur tentang pembatasan aktivitas atau program nuklir Iran. Sebagai imbalannya, sanksi asing, termasuk embargo terhadap Teheran, dicabut. 

Namun JCPOA retak dan terancam bubar setelah mantan presiden Amerika Serikat Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan.

Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sejak saat itu Iran tak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam JCPOA, termasuk perihal pengayaan uranium. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement