Rabu 24 Nov 2021 07:08 WIB

Ancaman Taper Tantrum, Ekonom: Tidak Berdampak Masif

Kepemilikan asing pada saat ini di pasar Indonesia tidak sebesar 2013.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Jurnalis foto mengambil gambar layar yang menampilkan pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (12/11). Center of Reform on Economics (CORE) menilai kondisi tapering off pada 2013 dan saat ini (tahun depan), salah satu kondisi yang membedakan yakni kepemilikan asing yang relatif jauh lebih tinggi pada 2013 dibandingkan saat ini.
Foto: Prayogi/Republika.
Jurnalis foto mengambil gambar layar yang menampilkan pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (12/11). Center of Reform on Economics (CORE) menilai kondisi tapering off pada 2013 dan saat ini (tahun depan), salah satu kondisi yang membedakan yakni kepemilikan asing yang relatif jauh lebih tinggi pada 2013 dibandingkan saat ini.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) resmi mengumumkan tapering pada 4 November lalu. Tak seperti 2013, tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) tidak menimbulkan gejolak di pasar finansial global atau taper tantrum.

Center of Reform on Economics (CORE) menilai kondisi tapering off pada 2013 dan saat ini (tahun depan), salah satu kondisi yang membedakan yakni kepemilikan asing yang relatif jauh lebih tinggi pada 2013 dibandingkan saat ini. Adapun kondisi kepemilikan asing yang lebih rendah pada tahun ini juga tidak terlepas dari kondisi pandemi yang sudah terjadi sejak tahun lalu.

Baca Juga

“Investor asing di surat utang pemerintah yang keluar merupakan investor jangka pendek yang memang sangat dipengaruhi oleh sentimen jangka pendek seperti pandemi Covid-19, namun yang bertahan yakni investor asing yang memegang surat utang pemerintah dalam jangka menengah sampai panjang dan lebih melihat prospek ekonomi Indonesia dalam jangka panjang,” ujar Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (23/11).

Jadi menurutnya meskipun akan berdampak ke Indonesia, efek tapering off belum akan semasif jika dibandingkan dengan taper tantrum pada 2013 silam. Hanya, Yusuf menyebut kebijakan tapering off ini, setelah dilakukan akan mendorong The Fed untuk melanjutkan kebijakan melalui peningkatan suku bunga acuan. 

“Kenaikan suku bunga acuan ini tentu akan mendorong kenaikan imbal hasil treasury bond AS, dan pada muara nya akan mendorong kenaikan imbal hasil surat utang negara berkembang termasuk di dalamnya Indonesia. Alhasil, ini bisa mendorong cost of fund yang sedikit lebih tinggi pada instrumen surat utang pemerintah,” ucapnya.

Menurutnya cost of fund yang lebih tinggi ada hubungannya beban bunga yang harus ditanggung pemerintah dalam jangka menengah hingga panjang. Maka itu untuk meredam ongkos pembiayaan, pemerintah perlu memperkuat kerjasama dengan Bank Indonesia melalui SKB III.

“Dengan mendorong Bank Indonesia terlibat pada skema pembiayaan pada pos belanja pemerintah yang esensial seperti misalnya penanganan kesehatan, pengurangan pengangguran, dan pengentasan kemiskinan. Belanja yang dialokasikan program ini tentu tidak sedikit, sehingga keterlibatan Bank Indonesia dalam pembiayaan ini menjadi penting,” ucapnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement