REPUBLIKA.CO.ID,RIYADH – Arab Saudi meminta Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menggelar pertemuan luar biasa untuk membahas situasi kemanusiaan di Afghanistan. Menurut Riyadh, krisis di negara tersebut bisa memicu instabilitas regional dan internasional.
“(Arab Saudi) ingin mengadakan Pertemuan Luar Biasa Tingkat Menteri OKI untuk membahas situasi kemanusiaan di Afghanistan,” kata Saudi Press Agency dalam laporannya pada Senin (29/11).
Saudi memperingatkan, saat musim dingin mendekat, jutaan warga Afghanistan akan memerlukan bantuan seperti makanan, obat-obatan, dan tempat bernaung. Saudi pun menyinggung tentang krisis ekonomi yang saat ini membekap Afghanistan. Jika kondisi tersebut dibiarkan dan perekonomian Afghanistan runtuh, hal itu dapat merusak perdamaian dan stabilitas regional serta internasional.
Oleh sebab itu, Saudi menilai OKI perlu mengantisipasi terjadinya skenario semacam itu. Belum diketahui apakah OKI akan segera menanggapi dan menggelar pertemuan luar biasa seperti yang diminta Saudi.
Sebelumnya Taliban enggan disalahkan atas krisis ekonomi yang kini sedang membekap Afghanistan. “Kami tenggelam dalam masalah kami dan kami mencoba untuk mendapatkan kekuatan untuk membawa rakyat kami keluar dari kesengsaraan serta kesulitan dengan bantuan Allah,” kata Perdana Menteri Taliban di Afghanistan Mullah Mohammad Hassan Akhund dalam pidatonya pada Sabtu (27/11), dikutip laman Gulf Today.
Dia turut meyakinkan bahwa Taliban ingin membangun hubungan dan kerja sama dengan berbagai negara. “Kami meyakinkan semua negara bahwa kami tidak akan mencampuri urusan dalam negeri mereka dan kami ingin memiliki hubungan ekonomi yang baik dengan mereka,” ujarnya.
Krisis ekonomi dan kemanusiaan di Afghanistan memburuk sejak Taliban menguasai kembali Afghanistan pada Agustus lalu. Aksi kejahatan, seperti penculikan dan perampokan, dilaporkan meningkat tajam di berbagai daerah, terutama ibu kota Kabul. Sanksi Amerika Serikat (AS) turut memperparah kondisi di sana. AS diketahui membekukan aset asing Afghanistan senilai lebih dari sembilan miliar dolar. Pembekuan itu dilakukan sejak Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan pada pertengahan Agustus lalu.