Selasa 21 Dec 2021 14:48 WIB

Penabrak Sejoli di Nagreg, Psikolog: Pelaku Kehilangan Empati

Kehilangan empati artinya dia sudah tidak punya kepekaan secara Interpersonal.

Rep: Mabruroh/ Red: Bilal Ramadhan
Pembunuhan (Ilustrasi)
Foto: pixabay
Pembunuhan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Polisi masih melakukan penyelidikan pelaku kasus kecelakaan yang dialami dua sejoli di Negreg, Bandung, Jawa Barat. Hingga kini pelaku masih belum diketahui keberadaannya, sedangkan mayat dua sejoli itu ditemukan di sungai Serayu di Banyumas dan satu lagi di Cilacap, usai dibuang oleh pelaku.

“Sebuah perilaku yang secara psikologis ada unsur psikopatologi, hilangnya empati, jadi dia tidak peduli kepada orang lain, dia hanya peduli pada dirinya sendiri, membuat rekayasa untuk  menyelamatkan diri,” kata Bagus Riyono dalam sambungan telepon, Selasa (21/12).

Baca Juga

“Kalau dilihat secara spesifik harus melakukan asesment langsung kepada orangnya, tapi (karena pelaku) belum ketemu sehingga ini dilihat secara umum saja, secara teoritis kenapa ada orang setega itu,” ujar dosen psikologi dari UGM ini.

Bagus melanjutkan, bahwa secara psikologi sosial ada orang yang apabila melihat kejahatan atau penderitaan orang lain, dia tidak merasa perlu untuk membantu. Dia hanya menonton saja.

“Tapi kalau kasus ini, dia tidak menonton tapi dia pelaku yang ingin menyelamatkan diri sendiri. Dia ada masalah dengan dirinya yang disebut kehilangan empati,” jelas Bagus.

Menurut Bagus, kehilangan empati artinya dia sudah tidak punya kepekaan secara Interpersonal dan hal itu dapat terjadi berdasarkan pengalaman hidup dalam kehidupan sehari-hari pelaku.

“Karena tidak punya kepedulian terhadap orang lain, sehingga kepekaan itu menjadi tumpul dan dia hanya memikirkan diri sendiri,” ujar Bagus.

Fenomena ini tuturnya sangat memprihatinkan. Fenomena ini disebut sensing culture atau budaya indrawi, di mana masyarakat mudah terpengaruh informasi sensasional tanpa menggunakan akalnya dan tidak peduli pada dampaknya terhadap orang lain.

Sama halnya dengan apa yang dilakukan pelaku. Ia hanya memikirkan ide bagaimana agar dia selamat dan membuang korban dengan harapan perbuatannya tidak diketahui. 

“Artinya dia punya ide. Punya ide itu kan (membuang korban) pasti mikir juga. Tapi mikirnya itu untung rugi-untung rugi (untuk dirinya sendiri), dia tidak punya empati sehingga dia hanya mikir untuk dirinya,” kata Bagus.

Setiap orang terangnya, dibekali oleh rasa takut. Dengan membuang korban ke sungai, ini tentu membuat rasa takut semakin besar, tetapi pelaku justru melakukannya.

“Artinya dia tidak punya hubungan dengan Tuhan. Kalau dia punya hubungan dengan Tuhan, hatinya ada koneksi dengan Tuhan, dia melakukan itu harusnya dia lebih takut. Lebih besar dosanya,” terang Bagus.

“Jadi penyebab utamanya sebetulnya kekosongan hatinya yang tidak punya kedekatan dengan Tuhan. Sehingga dia seperti bermain-main, seperti main game yang penting dia selamat,” kata Bagus.

Jika dia memiliki hubungan dekat dengan Tuhan, tentu ia akan takut karena apa yang dilakukannya akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Dia juga akan berpikir lebih jauh, bahwa perbuatannya ini akan terbongkar dan ia akan tertangkap.

“Tapi dia tidak berpikir jauh. Jadi orang yang punya sensing mentality ini berpikirnya pendek, tidak mendalam. Pokoknya apa yang sedang terjadi saat itu, dia respon begitu saja dengan pertimbangan yang dangkal,” kata Bagus.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement