REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Kepercayaan hanya didapat dari janji yang ditepati, begitu kata pepatah. Banyak sekali janji yang diucapkan para tokoh Taliban begitu berhasil merebut kembali Afghanistan pada Agustus 2021.
Apakah janji itu ditepati atau tidak? Beberapa pihak meragukannya. "Saya sangat khawatir melihat janji yang dibuat untuk perempuan dan anak perempuan Afghanistan oleh Taliban dilanggar. Janji yang dilanggar menyebabkan mimpi buruk bagi perempuan dan anak perempuan Afghanistan," kata Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, di markas PBB, New York, Amerika Serikat, pada 11 Oktober lalu.
Guterres satu di antara tokoh dunia yang mulai ragu terhadap kelompok gerilyawan Taliban yang bersumpah akan memenuhi hak-hak kaum perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas di Afghanistan.
Setidaknya hingga dua bulan berkuasa, Taliban masih tidak mengizinkan anak-anak perempuan di Afghanistan bersekolah. Keleluasaan kaum perempuan menempuh pendidikan telah berjalan selama 20 tahun saat Amerika Serikat berkuasa di Afghanistan.
Belum lagi soal pemenuhan hak asasi manusia (HAM) lainnya yang tidak dijalankan oleh Taliban.Bahkan Presiden Joko Widodo pun di Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Eropa (ASEM) turut menyoroti memburuknya situasi di Afghanistan setelah Taliban berkuasa.
"Saat ini, pemerintahan inklusif belum terwujud. Situasi kemanusiaan memburuk. Sekitar 23 juta rakyat Afghanistan terancam krisis pangan. Bantuan kemanusiaan menjadi prioritas. Kami berkomitmen memberikan bantuan, termasuk untuk bantuan peningkatan kapasitas," katanya dalam Sesi Retreat KTT ASEM yang disampaikan secara virtual dari Istana Kepresidenan, Bogor, pada 26 November.
Presiden Jokowi mengingatkan bahwa penghormatan hak-hak perempuan adalah salah satu janji Taliban.